Suatu kali saya menyadari bahwa hidup bagi orang lain tak
semudah kelihatannya. Momen ini saya dapatkan setelah berkali-kali nonton
Runningman episode 188.
Dimana bintang tamu saat itu adalah Bi Rain dan Kim Woo Bin.
Yang menarik perhatian saya adalah tingkah Tuan Kim yang sangat berbeda dari
peran yang selalu ia mainkan di drama. Kim yang bad boy dan selengekan ternyata
wujud aslinya adalah Tuan Kim yang sangat hangat dan pemalu di kehidupan
pergaulannya.
Pada episode itu Tuan Kim berpasangan dengan Tuan Yoo,
setelah melewati berbagai macam tantangan tibalah saatnya mereka melakukan
perjalanan pencarian seekor Koala bernama “Keeley” di sebuah kebun binatang
penuh dengan koala yang segedhe huhah. Berbekal sebuah foto, mereka berdua
harus bisa menemukan Koala bernama “Keeley” sehingga misi bisa dianggap
berhasil [*tolong bunuh saja aku]. Saat diperjalanan, ada celetukan Tuan Kim
yang bisa jadi bahan renungan. Tuan Kim
melemparkan pernyataan pada Tuan Yoo, “Aku
selama ini tidak pernah tahu tentang diriku, tetapi berada di Runningman
membuatku tersadar akan sesuatu. Aku rasa semua yang kita lakukan mungkin
terlihat sangat mudah bagi pemirsa di luar sana, karena semuanya juga terlihat
sangat mudah bagiku saat aku hanya melihatnya di TV.”
Ya, Kita sering menyaksikan keberhasilan orang lain diraih
‘nampak’ dengan sangat mudah. Tidak, jika kamu melihatnya lebih dekat.
Mendekatlah.
Dari jauh akan tampak: Tamat SMA tak perlu menunggu lama,
langsung lulus SNMPTN, Kuliah, lulus 4 tahun, kemudian beberapa orang
melemparkan pertanyaan, “Kok cepet?” atau sama dengan “Cepet ya?” yang lebih
kepada pernyataan meragukan “Kok ndang
lulus?”, yang tampak adalah seorang mahasiswa berasal dari keluarga yang berkecukupan
secara ekonomi, sehingga mudah saja bisa kuliah. Yang tampak adalah seorang
mahasiswa yang tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya karena sudah ada
yang ‘mbayari’ kuliahnya, dan kewajibannya hanyalah belajar sehingga wajar saja
lulus kuliah 4 tahun.
Itu tidak semudah kelihatannya, Bu. Mendekatlah lebih dekat
atau Ibu perlu mengalaminya supaya Ibu mengerti.
Dari dekat akan tampak: sebelum lulus SMA, siswa yang calon
mahasiswa ini tidak cukup pandai di kelasnya sehingga ia sering belajar dengan
SKS (Sistem Kebut Semalam), besoknya ujian ya malamnya belajar
ringkasan-ringkasan yang sudah di’sela’ke ia buat jauh sebelum hari ujian.
Kemari, lebih dekat lagi Bu. Semasa SMA dan duduk dibangku kelas 3, siswa ini
jadi hobi sholat dhuha (ah, ternyata ada maunya..) harapannya adalah agar semua
dimudahkan oleh Tuhan. Saat ujian, setiap malam ia bangun buat berdoa sama
Tuhannya. Doanya apapun. Sebelum hari pengumuman kelulusan, siswa ini harus
berperang batin dan kepandaian dengan siswa SMA sejagad untuk bisa kuliah.
Siswa ini tidak cukup pandai untuk bisa masuk ke salah satu perguruan tinggi
yang jadi impiannya. Tidak percaya? Ya, Kuliahnya yang 4 tahun lulus itu adalah
sebenarnya pelariannya yang justru menjadi takdirnya. Selama masa kuliah 2
tahun, siswa yang sudah menjadi mahasiswa ini mencoba tes SNMPTN dua kali, dan
dua kali gagal. Begitulah takdirnya membawanya hingga lulus kuliah 4 tahun. Selama
masa membuat skripsi, siswa yang telah menjadi mahasiswa tingkat akhir ini
sibuk cari acara di kampus dan bekerja. Supaya kalau ada acara ia bisa
menghemat makanan sehari-harinya, Bekerja supaya dia bisa bayar biaya kos,
buku, ngeprint, dan nraktir temen-temennya kalau dia ulang tahun. Di akhir
penulisan tugas akhirnya, mahasiswa ini diterpa kemalangan yang tak seorangpun
tahu. Singkat cerita bahwa mahasiswa ini kehilangan orang yang mbayari’ kuliahnya
karena harus masuk hotel prodeo. Naasnya, orang itulah yang selama ini ia
percayai. Meskipun sementara namun sangat menyakitkan prinsip dan idealismenya.
Kepergiannya yang ‘jauh’ meninggalkan luka yang mendalam, keterpurukan yang
cukup lama, hingga membuat mahasiswa ini menarik diri dari kehidupan sosial. Kepergiannya
yang ‘jauh’ meninggalkan tanggung jawab bahwa mahasiswa ini harus lulus secepat
mungkin supaya tidak membebani ‘sosok yang sedang pergi jauh dan sedang
meninggalkan hutang yang tak terhingga rupiahnya’ menanggung beban kuliahnya
lagi. Ya, motivasi terbesarnya supaya cepat lulus adalah ‘hutang’. Biaya kos
saat menjelang sidang tak terbayarkan oleh mahasiswa ini, ia memilih nomaden
dari satu kos ke kos yang lain. Titik nadir dalam hidupnya ini ia simpan
sendiri. Dan segala puji bagi Tuhan, Allah kabulkan permohonannya.
Ini cerita fiktif yang sengaja dibuat supaya orang lain yang
hanya melihat hasil, dapat pula melihat proses. Jangan hanya bisa bertanya,
“Kerja dimana sekarang?” cobalah bertanya, “Apa kabar?” atau jika kepo tentang
pekerjaan seseorang, cobalah mengganti redaksinya, “Sedang sibuk apa sekarang?”
Keterpurukan, kemalangan, dan kenestapaan bisa melanda
siapapun. Menunjukkannya kepada orang lain, supaya orang mengasihi bukanlah
kejahatan. Atau menyimpannya dan seolah baik-baik saja juga bukan kejahatan.
Orang tersebut mungkin hanya butuh waktu, dan seseorang untuk bisa berbagi
segalanya. Ya, segalanya.
Selamat berbagi, selamat memahami.
Lain halnya dengan cerita yang dibawa oleh Robin, seorang
perempuan sederhana yang punya hobi nolongin temennya. Keluarganya kaya raya,
namun hubungan Robin dengan kedua orang tuanya sebatas hubungan formal layaknya
seorang anak yang harus menghormati orang yang usianya lebih tua. Robin, yang
kaku di rumah, berubah menjadi sangat hangat jika bersama kawan-kawannya. Dari
jauh akan tampak: Robin, perempuan cantik dan berasal dari keluarga kaya raya
wajar jika punya hobi membantu orang lain, hobi ngutangin kalau kawan-kawannya
butuh uang buat bayar kuliah atau beli buku kuliah, hobi beliin makanan buat
temennya kalau temennya lebih milih nggak makan buat ngeprint tugas kuliahnya,
jadi wajar saja kalau Robin tumbuh menjadi anak yang dermawan karena Robin
berasal dari keluarga kaya dan harta berlimpah. Tidak ada yang spesial.
Cobalah mendekat, lihat lebih dekat: Robin yang sesungguhnya
adalah perempuan rapuh yang menangis setiap malam karena perlakuan tidak adil
kedua orang tuanya. Robin yang setiap malam tidur jam 11 malam, sering masih
terjaga hingga jam 2 malam. Pikirannya penuh dengan rencana masa depannya yang
selalu melintas ketika ia berada di atas kasur, kenangan-kenangan masa lalu
yang sering menjadi intermezo ketika Robin mulai memejamkan mata. Kesulitan
tidur yang dialami Robin pada suatu ketika ia atasi dengan mengambil jam
dinding di kamarnya dan melepaskan baterainya. Suara detik jarum jam dinding
terdengar sangat bising di telinganya ketika ia tidur. Oleh sebab itu, pagi
harinya jam itu ia serahkan kepada ayahnya. Ayahnya hanya tahu, bahwa Robin
anak tidak tau diuntung yang pemalas dan tidak tau waktu sehingga terlambat
bangun untuk melaksanakan sholat subuh. Ayahnya tidak tahu atau tidak mau tahu,
masalah yang dialami Robin. Robin sulit tidur karena pikirannya penuh dengan
permasalahan yang sedang ia hadapi. Robin yang rapuh, berusaha menjadi
perempuan hangat di lingkungannya yang lain. Robin yang sebenarnya tidak
terlalu kaya, karena sebenarnya keluarganya tidak sekaya orang lain lihat. Demi
sebuah rumah mewah, hutang keluarganya hingga ratusan juta. Robin menghemat
untuk biaya makan di kos, namun Robin tidak sungkan untuk membantu kawannya
karena Robin tidak menampakkan kalau dia sedang nelangsa. Nelangsa senelangsa
sesungguhnya.