Mungkin orang akan ramai membaca kronologi - dinding seseorang yang kabar kematiannya baru saja ia dengar. Buru-buru setelah ia mendengar kabar kematian tentang seseorang, kemudian ia datang ke kronologi orang itu untuk mengetahui apa saja - status terakihir yang ia tulis - penyebab kematiannya - cerita kawan kawannya - keluhan sakit yang mungkin ia jadikan status atau apapun. Lalu, kemanakah kita akan bertanya ketika orang tersebut adalah pribadi orang tua - orang tua kita, yang jauh dari yang namanya media sosial?
Segala yang terjadi di atas bumi ini sudah ada dalam penaNya.
Dua hari yang lalu, saya mengantarkan ibu saya menjenguk saudara baik, tetangga sebelah rumah di sebuah rumah sakit di kota saya.
Tanpa setitik airmata, tanpa keluhan, tanpa menyesali nasib, tanpa mematahkan semangatnya untuk terus hidup, beliau berbisik pada ibu saya tentang ucapan terimakasihnya atas doa-doa saudara saudara di sekitarnya untuk kesembuhannya, tentang harapannya agar bisa berkumpul kembali dengan sanak saudara di sekitar rumahnya. Dan ketika hendak berpamitan untuk undur diri, bermaksud agar beliau dapat beristirahat dan memulihkan staminanya, ibu memegang tangan beliau dan berdoa. Suami beliau dengan tulus menyampaikan rasa terimakasih atas kedatangan kami. pun saya berpamitan pada beliau, membelai tangannya, "enggal dhangan nggih Bu." saya tipe orang yang susah berkata-kata pada kondisi seperti itu.
Hari berikutnya, menjelang maghrib, saya mendengar kabar bahwa beliau telah tiada. Tidak ada yang tau, kapan datangnya akhir itu. Segala yang berasal dariNya, akan kembali padaNya. Semoga dilapangkan jalannya, diampuni segala dosanya. Dan inilah rencana Tuhan yang terbaik, untuknya, untuk suaminya, untuk keluarganya, dan untuk siapa saja. RencanaNya adalah rahasiaNya. Segala yang bernama "rencana", pasti ada tujuan dan maksudnya.
Lalu, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Akhir-akhir ini, saya sendiri belajar banyak hal. Satu yang mungkin paling susah saya katakan secara lantang, saya ikrarkan dengan tegas, adalah perasaan cinta saya pada ibu, atau bapak, atau saudara laki laki saya; perasaan rindu saya pada ibu, atau bapak, atau saudara laki laki saya. Mungkin saya akan berdalih bahwa, yang paling penting adalah tindakan atau wujud cinta saya pada mereka, bukan hanya sekadar kata-kata manis di bibir. Tapi, akhirnya saya menyadari bahwa ikrar pun penting. Supaya ada wujud kejelasan. Pernah ditanyai, "Apa adek ra sayang pa karo mamah?" ketika saya belum sempat mengantarkan ibu saya ke dokter, karena alasan mengerjakan tugas. Ya, Saya baru menyadari, ternyata selama ini saya belum pernah berujar atau berikrar bahwa "Adek sayang mamah", dan hal itu menyadarkan saya bahwa ibu saya membutuhkannya. Butuh saya berkata, "I Love You". Lalu selama ini? Gengsi?- Bukan gengsi, jelas bagi saya bukan itu. Karena selama ini saya hanya merasa takut ketika saya akan berkata semacam itu pada orang-orang saya cintai, saya akan menangis. Air mata lah yang membuat saya takut. Demi apa? Demikianlah anakmu mencintaimu.
0 komentar:
Posting Komentar