"Ketika Kekasihku Menangis"

*Diambil dari kumpulan artikel Menggenggam Islam oleh Sarbaini*


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah seraya membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahu, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu" Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

***
Ah...
Sungguh agung hatimu wahai Rasul. Engkau merasakan betapa sakitnya sakaratul maut, namun engkau tak ingin kami merasakannya, engkau ingin menanggung sendiri semua sakit itu, demi kami.

Ah…
Sungguh besar cintamu pada kami hai Rasul. Di saat terakhirmu, engkau menangis. Kami tahu, engkau menangis karena mengkhawatirkan kami, ummatmu ini. Engkau takut kami tersesat, engkau takut kami berpaling dari Allah dan engkau. Engkau takut, ada di antara kami yang tidak dimasukkan ke surga, tidak menemanimu di sana.

Ah...
Air matakupun ikut mengalir. Akukah orang yang membuat Rasulullah menangis? Akukah orang yang dikhawatirkan Rasul? Akukah yang disebutnya “ummati…ummati…”.

Ya…Rasul, tentulah engkau akan kembali menangis, seandainya engkau melihat kami. Betapa banyak di antara kami, yang meninggalkan perintah Tuhanmu, dan justru melanggar larangan-Nya. Kamikah ummatmu?

Tentulah engkau akan kembali menitikkan air matamu yang mulia, karena begitu banyak ummatmu yang hidup tanpa mewarisi risalahmu. Engkau mengatur hidup ummatmu dengan al-Qur’an, sementara mereka mengatur kehidupan ini dengan aturan buatan manusia. Engkau menangis karena kami, sementara kami tak sekalipun menangis karena dosa-dosa kami, kami tak sekalipun menangis karena merindukanmu ya Rasul…
Maafkan aku, maafkan kami...

0 komentar:

Posting Komentar