Semua Untuk Indonesia...

-->
 (mari sekali-sekali bicarakan kecintaan kita pada Indonesia)

Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati...
Air matanya berlinang mas intan yang terpendam
Hutan, gunung, sawah, lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara, merintih dan berdoa...

Inikah pertanyaan dan jawaban atas semua perbuatan manusia pada tahun 2004? Yang semuanya akan terulang di tahun 2010? Akankah terulang lagi di tahun-tahun berikutnya, karena manusia (termasuk aku) belum juga menyadari kesalahan yang mereka perbuat?

Tuhan marahkah Kau padaku?
Sungguh deras curah murkaMu
Kau hempaskan jarimu di ujung Banda
Tercenganglah seluruh dunia
Tuhan mungkin Kau kuabaikan
Tak ku dengarkan peringatan
Kusakiti Engkau sampai perut bumi
Maafkan kami oh Rabbi...
Engkau Yang Perkasa jangan marah lagi
Biarkanlah kami songsong matahari
Engkau Yang Pengasih ampunilah dosa
Memang semua ini kesalahan kami...
Tuhan ampuni kami...
Tuhan tolonglah kami...

Yaa... hingga pada akhirnya manusia hanya akan menangisi semua yang telah terjadi. Akhir-akhir ini bumi pertiwi kita sedang diuji keimanannya oleh Sang Penguasa Jagad Raya.
Sabtu, 30 Oktober 2010...
Setelah selesai menunaikan shalat subuh, seperti biasanya ayahku menyetel televisi-nya untuk meng-update berita. Hingga aku yang sebenarnya disibukkan (sok sibuk) dengan kegiatan bersih-bersih, tertarik pada sebuah berita terkini yang tiba-tiba bisa membuatku panik. Gunung Merapi mengeluarkan lahar panasnya lagi. dan kali ini efeknya lebih parah... Abu vulkanik dan bau belerang mampu tercium hingga dalam kota Yogyakarta. Buru-buru aku mengambil hape-ku dan mengirimkan SMS kepada mbak kosku tercinta, dan menanyakan bagaimana keadaan teman-temanku disana. Setelah mbak Ismi (mbak kos) mengabarkan keadaannya, aku sedikit lega karena mereka alhamdulilah aman-aman saja. Sebenarnya pada hari kamis, aku sempat diajak seorang teman dari BEM FBS menggalang dana untuk korban Merapi. Namun, aku hanya mampu menyumbangkan sesuatu yang tidak seberapa, dan aku lebih memilih untuk pulang ke rumah (teganya aku!!! Egois...)
Hingga pada akhirnya, kuputuskan setelah shalat dhuhur untuk pulang ke kos di Jakal. Perjalanan naik motorku menempuh 2 jam perjalanan. Sempat terguyur hujan (berwarna coklat-mungkin campuran antara air dan debu) di Kulon Progo. Kemudian memasuki kota Jogja, jalanan terlihat sangat kering dengan tebu yang sangat tebal. Kupikir karena Jogja tidak hujan, maka aku lepaskan saja mantelku, kemudian kulanjutkan perjalananku. Hingga di kos, motorku sangat tak berwujud seperti motor, melainkan lebih condong mirip traktor pembajak sawah... pakaian dan helmku pun bernasib sama. Sesampainya dikos aku membersihkan mantel, motor dan badanku. Oiya, dikos ternyata juga sedang kebanjiran... Anugerah yang luar biasa... Namun sebelum aku datang, air-air itu sudah dibersihkan oleh mbak kosku (Mbak Ismi)..
Pada hari minggunya, kira-kira jam setengah enam aku bersiap-siap untuk ke Pos Pengungsian di Cangkringan, tepatnya di SD Kiyaran I, Wukirsari, Cangkringan. Aku berangkat bersama dengan teman-teman dari UGM, ada 6 perempuan (tangguh..hehehe) termasuk aku. Berangkat dengan menebeng mobilnya mbak Meynita (psikologi UGM 06). Kata mbak Ismi yang teman sekampusnya mbak Meynita, baru sebulan yang lalu Mbak Mey mendapatkan Surat Ijin Mengemudinya. Jadi kalau nanti mobil itu tiba-tiba melesat kencang dan mengeram mendadak, harap maklum. Benar kata mbak Ismi, selama perjalanan menuju Pos dan pulang dari Pos, mbak Mey berulang kali membuat isi perutku ingin dimuntahkan..hahaha... tidak papa...itu sebanding dengan melihat betapa tangguh dan ceria nya anak-anak merapi di pos pengungsian... Mobil kecil itu berpenumpang aku (PBD UNY 08), mbak Ismi (psikologi UGM 06), mbak Esti (Sastra Jepang UGM 05), Nur (Peternakan UGM 10), Ipeh (STTN 08), dan mbak Mey sebagai pengemudi. 

Sesampainya di sana, kami disambut oleh anak-anak kecil (halaaah...lebai...) mereka menyapa kami..bukan ding lebih tepatnya Ipeh..hehehe... (karena dialah wanita tangguh yang sudah merelakan dirinya mengabdi kepada mereka sejak pertama kalinya Merapi dinyatakan dalam status awas-ternyata update status juga nih Merapi..hehehe..)... Seorang anak perempuan mendekatiku (namanya Nisa)... kemudian aku ajak ngobrol.. Dia menunjukkan sebuah kepiting dan keong yang ditemukannya saat bermain... Hmmm... melihat senyuman mereka, aku semakin yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kemudian ada cerita lagi dari seorang anak laki-laki (balita) bernama Ardi, yang ketika sabtu dini hari ditinggalkan ibunya... Namun, syukur alhamdulillah ibu yang dinantikannya kini telah ada di sampingnya. Ada juga seorang anak yang sangat ekspresif dan komunikatif menceritakan dirinya dan mbah Marijan sebagai tetangganya. Namanya (katanya) Agung Saputro, tapi dia sering menyebut dirinya sebagai Gathotkaca...hahaha... Lucu sekali anak ini... Aku jadi merasa minder, karena harusnya aku yang menghibur mereka, tapi malah justru mereka yang menghiburku. Lho? hwaaa... mbah Marijan menjadi sosok yang mengagumkan di mata kami... Lalu aku membantu sebisaku di dapur umum..

Sekadar melakukan hal-hal kecil yang bisa meringankan mereka. Di sana aku juga bertemu dengan teman-teman dari FIP UNY, salah satu yang kutanyai bernama Yeti. Ia anak PAUD, ada juga yang dari PGSD. Kami juga dibantu oleh bapak-bapak dari TNI, PMI hingga para baiarawati atau suster-suster. Sungguh aku mengaggumi hal ini. Di sinilah aku melihat sebuah rasa solodaritas yang sangat tinggi. High tolerate. Bahkan keramahan TNI-TNI itu juga membuatku berdecak kagum…bukannya kami yang melayani, malah mereka yang melayani… Bayangkan baru datang saja, kemudian beberapa menit melakukan hal kecil, mereka sudah menawari kami makan dan minum..hahaha… Baiklah kami tidak akan menolaknya, karena kami memang dating terlalu pagi.. Aku juga sempat melihat pos anak yang berada di belakang dapur umum yang didirikan FSLDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus)-mungkin dari UGM yang juga bergabung dengan IP (Insan Parahita).. Pukul 2 siang kami pulang, tapi Ipeh kami biarkan tetap di sana... hehehe..

Oiya, flashback sebentar...ketika  aku selesai shalat disebuah mushala di Cangkringan, di Pos pengungsian, aku menemukan sebuah tulisan yang diterbitkan oleh Keluarga Muslim FT UNY. Isinya kurang lebih seperti ini.....
Hidup kadang seperti petani yang berharap menanti hujan. Ketika awan gelap membumbung menutup langit, halilintar menyambar-nyambar memecut bumi, ketakutan pun muncul. Padahal, dibalik gelapnya langit dan kilatan petir, di situlah sesungguhnya tercurah hujan.
Di masa kekhalifahan Umar bin Khatab, pernah terjadi gempa besar. Orang-orang panik. Korban pun berjatuhan. Beberapa saat setelah kejadian itu, Khalifah menyampaikan pesannya, “Kalian suka melakukan bid’ah yang tidak ada dalam Al Quran, sunnah Rasul, dan ijma’ (kesepakatan umum) para sahabat Nabi, sehingga kemurkaan dan siksa Allah turun lebih cepat.” (Sunnah Al Baihaqi diriwayatkan dari Shafiyah binti Ubaid)
Ucapan itu begitu menarik. Tanpa tedeng aling-aling, beliau r.a. langsung menghubungkan antara bencana dengan dosa orang sekitarnya. Bagaimana mungkin sebuah negeri yang masih banyak dihuni para sahabat Rasul yang saleh, dipimpin oleh Umar yang begitu dekat dengan Rasul, bisa mendapat bencana karena kemaksiatan.
Pesan Umar itu akan lebih terasa tajam jika bencana terjadi pada diri umat saat ini. Tentu, dosa-dosa umat saat ini jauh lebih besar dibanding jaman para zahabat Rasul. Di masa itu, nyaris tidak ada kemusyrikan. Tidak ada perzinaan. Tidak ada korupsi dan penindasan. Sementara jaman ini, hampir semua potensi kebaikan tercemari limbah nafsu duniawi.
Bencana menurut Umar bin Khatab, walaupun di sekelilingnya banyak orang shaleh, terjadi karena pelanggaran terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Bencana adalah teguran Allah swt agar hamba-hambanya bisa kebali kepada kebenaran.
Di jaman Nabi Musa as. gempa juga dimaknai beliau sebagai teguran berat. “Dan tetapkanlah untuk kami kebaikan di dunia ini dan di akhirat. Sungguh kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. (Allah) berfirman, ‘Siksa-Ku akan aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS 7:155-156)
Di masa Rasulillah saw pernah terjadi bencana wabah. Aisya r.a menanyakan soal wabah itu. Terutama, keadaan orang-orang beriman yang terjebak di daerah bencana. Rasulullah saw mengatakan bahwa wabah tha’un merupakan siksa Allah yang dikirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tetapi, Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi para hambaNya yang beriman. Maka, seorang mukmin yang berada di daeraj yang kejangkitan wabah itu, jika sabar dan ikhlas karena ia mengerti tidak akan terkena wabah itu kecuali kalau memang sudah ditakdirkan Allah baginya, maka Allah akan mencatat baginya pahala seorang mati syahid. (HR. Bukhari).
Bencana memang tidak akan ppilih kasih. Apakah di situ ada orang shaleh atau penikmat maksiat. Semua akan kena, siapapun yang dikehendakiNya. Semua akan merasakan kedhsyatannya. Cuma bedanya, orang kafir merasakannya sebagai azab. Sementara orang mukmin sebagai rahmat Allah swt. Dengan catatan: sabar dan ikhlas.
Ketika bencana sudah terjadi, besar atau kecil, seorang mukmin harus bersikap positif. Ia tidak mengeluh, apalagi menggugat: Allah tidak adil! (QS 89: 15-16)
Selalu saja, semua yang Allah turunkan termasuk juga bencana, akan punya hikmah dibaliknya. Ada pelajaran berharga dibalik penderitaan seorang mukmin. Di sana ada ampunan, teguran, solidaritas, juga pendidikan kesabaran dan keikhlasan.

0 komentar:

Posting Komentar