Cerita Eyang Uti

Di jalan pinggiran kampus sebelah, aku dan seorang teman berjalan-jalan pagi, ritual yang sering dilakukan jika kami berkumpul dan memiliki waktu senggang.

Hingga sampai kami di sebuah tempat yang bernama sunmor, pendeknya Sunday morning. Sebuah nama yang didedikasikan pada tempat yang disebut pasar setiap hari minggu pagi di Jogja. Kami berada di antara riuhnya mereka, ada yang sedang menawar, mengobrol, bercanda ditengah jalan, sampai kami mlipir untuk beristirahat dan sekadar mengobrol di tempat yang pas sambil sarapan pagi. Niat sebenarnya bukan itu, tapi kami terjebak pada situasi perut kosong alias kelaparan dan terjebak 'pas' lewat tempat itu. Setelah makan, kami pulang, mencari jalan yang lebih sepi..

nah, ini cerita sebenarnya yang hendak kubagikan.

aku dan dia mengobrol sekenanya, jalan sudah agak lengang, di depan kami berjalan dua orang yang renta ah, cukup renta... kulit keduanya tampak keriput, menandakan usia mereka diatas kepala lima, bersepatu ket, memakai pakaian training, pakaian olahraga khas orang dewasa, namun masih tampak catchy dipakai keduanya, keduanya memakai kacamata, rambut sang wanita sudah beruban, rambut putihnya mendominasi daripada rambut hitamnya, sedang sang lakinya memakai topi khas anak muda dengan warna rambut yang hampir sama. Yang tampak menarik adalah sang wanita itu bergeliat manja pada bapak itu. Begitu sang wanita memanggil laki-laki itu, bapak. Bapak menggandeng mesra ibu itu. Masih betah berada di belakang mereka, aku senyum-senyum sendiri. Terkadang genggaman tangan mereka lepaskan, dan sang bapak berganti merangkul sang ibu supaya lebih dekat dengannya, memastikan supaya ibu selalu berada di sampingnya.

Romantis itu.... ya itu...

cerita cinta hingga kamu menjadi eyang uti, hingga mati adalah janji terakhir.

[aku dan kamu berbeda, namun senyuman kita bermakna sama bukan?]



0 komentar:

Posting Komentar