Dimas

Di sudut pendapa milik pak RT kami bercerita ceria. Tentang pekerjaan kami, tugas kami, cerita lucu bersama penduduk desa, cerita lucu tentang anak-anak di desa. Satu jam sebelum masuk waktu maghrib, biasanya kugunakan untuk jalan sore keliling desa yang baru kutinggali untuk sementara waktu ini. Sebelum mengajar adik-adik mengaji, padang ilalang panjang kulewati saat menuju ke surau. Kudapati seorang laki-laki keluar dari semak rumput tinggi, menuntun sepedanya dan berhenti di pinggiran jalan ilalang. Laki-laki itu mendekati seorang Bapak yang tengah merapikan tumpukan rumput panjang bunga dandelion. Mungkin untuk makan ternak milik Bapak itu. Selesai merapikan rumput untuk di bawa menggunakan sepeda oleh Bapak itu, lelaki itu mengayuh kembali sepedanya. Sosoknya tertutup oleh sinar senja sore kala itu dan membentuk sebuah siluet. Dia menjauh, aku tersenyum di balik punggung lelaki itu. Aku merasakan kehangatan pribadi lelaki itu. Lelaki itu bernama DIMAS.

Lelaki yang kemudian untuk beberapa kali waktu kutemui di tengah jalan tanpa sapa tanpa sengaja. Pernah kedua mata kami bertemu, kemudian dia tersenyum. Aku tersenyum. Seorang laki-laki yang begitu menyukai bersepeda, melukis sore, dan mengejar bola. Lelaki sederhana namun istimewa.

Sore ini gerimis turun lagi, Dimas. Tanpa mendung tanpa awan tebal kelabu. Sama seperti ketika aku duduk mendampingi adik-adik yang sedang mengaji, kemudian gerimis turun tiba-tiba. Aku berlari ke teras surau untuk menepikan sepatu adik-adik agar tidak basah karena hujan. Namun sebelum sampai aku di teras surau, aku melihatmu lebih dulu menepikan sepatu adik-adik dengan rapih. Juga sepatu usangku tidak lupa kau tepikan agar tidak kehujanan. Kubiarkan engkau tidak menyadari bahwa aku menyaksikan kebaikan dan perhatianmu. Satu yang kulupa, aku lupa mengucapkan terima kasih padamu. Kamu buru-buru ke tempat wudhu dan bergegas ke mimbar bersiap untuk mengumandangkan adzan maghrib. Setiap kali gerimis datang dan jatuh dari langit depan surau, aku mengingatmu. Aku menampung air gerimis di telapak tanganku, dan aku tersenyum mengingat kehangatan pribadimu. Aku mulai menyukai gerimis. Gerimis membawaku pada kenangan tentang perhatianmu pada adik-adik dan warga desa.
Dimas yang baik, apakah aku terlambat untuk mengenalmu lebih dari sekadar tau namamu? Seandainya menyapamu semudah aku mengetuk pintu rumah Pak RT dan ijin tinggal di sana, maka mungkin mampu kulakukan. Sayang menyapamu lebih dulu tak semudah itu bagiku. Aku tak seberani itu. Aku, bukan perempuan pemberani. Dimas, saat kudapati gerimis mengenai jendela kamarku di kota ini, aku mulai mengingatmu kembali. Tiga bulan waktu itu menjadi terlalu singkat bagiku. Benar kata orang kalau rindu itu bagai gerimis. Ia datang tanpa pertanda. Ia melebat tiba-tiba. Tolong beritahu padaku bagaimana caranya melebur rindu yang tak tersampaikan? Atau, tolong jelaskan padaku apa yang menyebabkan aku ingin bertemu denganmu sedang aku belum mengenalmu dengan baik? Dimas, carikan aku sebuah alasan agar aku bisa kembali.



Dimas (Indonesia); .dhimas (Baoesastra, 108) merupakan sebutan untuk seorang adik (laki-laki). Dalam konteks tertentu juga berarti ‘yang terkasih’.

Asih


Seorang perempuan duduk di padang ilalang dekat saung di desa kami. Perempuan enerjik dengan rok panjang, kadang dengan gamis dan jilbab yang melompat-lompat tertiup angin saat dia mengejar anak-anak untuk mengaji. Perempuan yang tidak malu-malu untuk tertawa lepas dan tertawa cekikian bersama anak-anak kecil yang usianya jauh lebih muda dibanding usianya. Perempuan yang punya senyum merekah setiap kali ia menyapa penduduk di desa kami. Sikap sederhana dan ramahnya membuatku tertarik untuk selalu memperhatikannya. Setiap sore jika dia tidak datang ke padang ilalang desa kami, dia datang ke surau desa kami. Dia mengajar mengaji, mengajar membaca alquran adik-adik di desa kami. Perempuan ceria yang hobi mengejar adik-adik agar rajin mengaji di surau. Perempuan itu bernama Asih. Belakangan aku tahu apa yang disukai Asih. Perempuan itu menyukai senja, gerimis, dan buku. Dia akan tiba-tiba berhenti mengejar adik-adik untuk mengaji kalau dia menyadari bahwa sorot lembayung senja berwarna merah jingga menyilaukan matanya. Kemudian dia akan tersenyum dan bibirnya seperti mengucapkan sesuatu. Mata jernihnya berkaca-kaca, lalu kembali mengejar adik-adik dan berteriak lucu, “kalau di’dukani’ Allah gimana?” *didukani ‘dimarahi’ (bahasa Jawa).
Jika hujan turun, adik-adik akan datang terlambat untuk mengaji. Asih menunggu di teras surau sambil memegang payung kecil untuk menjemput adik-adik yang datang dari ujung jalan desa kami. Sesekali Asih membuka telapak tangannya dan menyambut gerimis menyentuh telapak tangannya yang turun dari langit depan surau kami. Asih seperti menikmati gerimis yang datang setiap sore itu. 

Belakangan Asih tidak tampak di surau maupun di padang ilalang seperti biasannya. Tiba-tiba aku merasa penasaran dengan kehadirannya dan merasa kehilangannya. Meski tidak pernah bertegur sapa, sikap ramah pada warga dan sikap ceria pada adik-adik di desa telah membuat kesan tersendiri di dalam lubuk hatiku. Asih datang ke desa kami bersama sekelompok kawan yang baru kuketahui kalau mereka sedang melakukan kegiatan lapangan. Asih telah pergi sebelum keberanianku menyapanya tumbuh sama besarnya seperti rasa penasaranku padanya. Asih yang penuh kasih, apakah aku terlambat untuk memintamu tetap di sini saja?

Kasih (Baoesastra, 191) yang berarti ‘orang tercinta’ atau dalam bahasa Indonesia (KBBI) berarti ‘perasaan sayang, cinta’ . Juga asih (Baoesastra, 20) berarti tresna, katresnan atau ‘cinta’ dalam bahasa Indonesia. Sih (Baoesastra, 562) berarti tresna, katresnan, kawelasan.

Sang Penyelamat

Seorang perempuan bermata sendu masuk ke dalam lorong kereta, mencari tempat duduk yang belum terisi. Beberapa kursi di gerbongku telah terisi oleh beberapa pasangan atau segerombol keluarga yang mungkin hendak melancong. Aku duduk seorang diri. Perempuan itu tampak mencari tempat duduk yang berada di dekat pintu kereta. Ya, dia duduk tepat di depanku dengan jarak agak jauh karena terpisah jeda pintu kereta. Kereta yang kutumpangi adalah kereta jarak pendek yang penumpangnya dibebaskan memilih tempat duduk. Perempuan itu tampak menghindari kontak mata dengan penumpang lain. Kursi di sebelahnya dibiarkan kosong, tas ranselnya ia letakkan di bawah dekat kakinya. Kursi di sebelahnya dibiarkan kosong supaya jika ada penumpang lain yang membutuhkan tempat duduk, dia tidak perlu meminta ijin pada perempuan tersebut. Perempuan itu bergestur enerjik, namun tetap bersahaja dengan gamis dan sepatu sneaker nya. Tas kecil satunya ia pangku, dan ia buka. Ia mencari sesuatu. Ia keluarkan masker atau penutup hidung kemudian ia pakai. Ia keluarkan telepon genggamnya kemudian ia pasang earphone dan ia pakaikan di telinganya di balik jilbabnya. Hal yang sama yang biasa kulakukan jika tidak ingin diganggu, aku hanya akan (pura-pura) memasang earphone namun tanpa bunyi apapun.

Perempuan itu bersandar di dinding samping kereta dekat jendela kemudian pandangannya kosong menatap keluar jendela. Beberapa detik setelah aku memperhatikan, perempuan itu menangis. Ia tampak seperti ingin membendung airmatanya agar tidak ketahuan oleh yang lain. Ia buru-buru membasuhnya. Matanya kembali berkaca-kaca. Air matanya kembali menetes dan nampaknya ia tidak sanggup membendung derai air matanya. Ia mencoba bertahan, akhirnya ia keluarkan tisu dari tas kecilnya, ia lepas masker penutup hidungnya dan ia basuh air matanya kembali. Ia pakai kembali masker tersebut. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan namun kuat seperti ia sedang menanggung beban yang sangat berat. Kali ini ia mencoba tidur, mungkin pura-pura tidur agar ia punya alasan untuk menutup kedua matanya. Aku memandanginya. Air matanya masih keluar saja dari kedua ujung mata teduhnya. Beberapa kali kulihat, genggaman tangannya gemetar karena menahan airmatanya. Aku sedang penasaran dan tiba-tiba aku merasa ikut bersedih. Pendapatku tentang mata perempuan itu yang kukira bermata sendu karena tertiup angin hujan di luar gerbong adalah salah besar. Sendunya tercipta karena ia sedang menyimpan luka yang dalam dan penuh rahasia. Apakah dia sedang ditinggalkan oleh kekasihnya. Apakah ia sedang dikhianati oleh seseorang yang ia cintai. Apakah seseorang yang paling ia cintai meninggalkannya. Apakah hujan di luar jendela membuat dia rindu pada seseorang. Apakah hujan yang mengenai sepatunya membuat rindu yang ia pendam butuh untuk segera disampaikan. Apakah keselamatan jiawanya terancam dan mengharapkan kehadiran penyelamat. Apa yang membuatnya begitu bersedih. Yang pasti, dia sedang berusaha melupakan lukanya dengan cara menumpahkan air matanya. Ya, dia sedang mencoba lupa akan lukanya. Sayangnya, luka yang ia tanggung terlampau perih sehingga belum sampai dia mengadu pada Tuhannya, air matanya tumpah di depanku. Aku tak berani menyapanya. Khawatir, pertanyaan dan keingintahuanku justru akan menyentuh luka yang sedang ia sembunyikan, meskipun tak sengaja tersentuh, pasti tetap akan menimbulkan rasa sakit dan justru membuat papa jiwanya, menambah tangis baginya.

Aku mencoba cara yang paling aman, yaitu menunggunya.Andai saja aku berani mendekat dan menghiburnya. Akan kuberitahukan padanya bahwa Tuhan Maha Penyayang , Maha Mengatur hidup seluruh umatNya. Adukan semua padaNya, bisa jadi hidup yang sedang ia tangisi justru menjadi hidup yang orang lain inginkan. Akan Tuhan datangkan hadiah terindah
yang mungkin tidak akan ia sangka skenarionya. Ya, kita perlu bersyukur dan hanya perlu menunggu. Dimanakah Sang Penyelamatnya? Segeralah datang, dan selamatkan dia. Bawa dia keluar dari hidupnya yang sedang ia tangisi.