Seorang perempuan bermata sendu masuk ke dalam lorong kereta, mencari tempat duduk yang belum terisi. Beberapa kursi di gerbongku telah terisi oleh beberapa pasangan atau segerombol keluarga yang mungkin hendak melancong. Aku duduk seorang diri. Perempuan itu tampak mencari tempat duduk yang berada di dekat pintu kereta. Ya, dia duduk tepat di depanku dengan jarak agak jauh karena terpisah jeda pintu kereta. Kereta yang kutumpangi adalah kereta jarak pendek yang penumpangnya dibebaskan memilih tempat duduk. Perempuan itu tampak menghindari kontak mata dengan penumpang lain. Kursi di sebelahnya dibiarkan kosong, tas ranselnya ia letakkan di bawah dekat kakinya. Kursi di sebelahnya dibiarkan kosong supaya jika ada penumpang lain yang membutuhkan tempat duduk, dia tidak perlu meminta ijin pada perempuan tersebut. Perempuan itu bergestur enerjik, namun tetap bersahaja dengan gamis dan sepatu sneaker nya. Tas kecil satunya ia pangku, dan ia buka. Ia mencari sesuatu. Ia keluarkan masker atau penutup hidung kemudian ia pakai. Ia keluarkan telepon genggamnya kemudian ia pasang earphone dan ia pakaikan di telinganya di balik jilbabnya. Hal yang sama yang biasa kulakukan jika tidak ingin diganggu, aku hanya akan (pura-pura) memasang earphone namun tanpa bunyi apapun.
Perempuan itu bersandar di dinding samping kereta dekat jendela kemudian pandangannya kosong menatap keluar jendela. Beberapa detik setelah aku memperhatikan, perempuan itu menangis. Ia tampak seperti ingin membendung airmatanya agar tidak ketahuan oleh yang lain. Ia buru-buru membasuhnya. Matanya kembali berkaca-kaca. Air matanya kembali menetes dan nampaknya ia tidak sanggup membendung derai air matanya. Ia mencoba bertahan, akhirnya ia keluarkan tisu dari tas kecilnya, ia lepas masker penutup hidungnya dan ia basuh air matanya kembali. Ia pakai kembali masker tersebut. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan namun kuat seperti ia sedang menanggung beban yang sangat berat. Kali ini ia mencoba tidur, mungkin pura-pura tidur agar ia punya alasan untuk menutup kedua matanya. Aku memandanginya. Air matanya masih keluar saja dari kedua ujung mata teduhnya. Beberapa kali kulihat, genggaman tangannya gemetar karena menahan airmatanya. Aku sedang penasaran dan tiba-tiba aku merasa ikut bersedih. Pendapatku tentang mata perempuan itu yang kukira bermata sendu karena tertiup angin hujan di luar gerbong adalah salah besar. Sendunya tercipta karena ia sedang menyimpan luka yang dalam dan penuh rahasia. Apakah dia sedang ditinggalkan oleh kekasihnya. Apakah ia sedang dikhianati oleh seseorang yang ia cintai. Apakah seseorang yang paling ia cintai meninggalkannya. Apakah hujan di luar jendela membuat dia rindu pada seseorang. Apakah hujan yang mengenai sepatunya membuat rindu yang ia pendam butuh untuk segera disampaikan. Apakah keselamatan jiawanya terancam dan mengharapkan kehadiran penyelamat. Apa yang membuatnya begitu bersedih. Yang pasti, dia sedang berusaha melupakan lukanya dengan cara menumpahkan air matanya. Ya, dia sedang mencoba lupa akan lukanya. Sayangnya, luka yang ia tanggung terlampau perih sehingga belum sampai dia mengadu pada Tuhannya, air matanya tumpah di depanku. Aku tak berani menyapanya. Khawatir, pertanyaan dan keingintahuanku justru akan menyentuh luka yang sedang ia sembunyikan, meskipun tak sengaja tersentuh, pasti tetap akan menimbulkan rasa sakit dan justru membuat papa jiwanya, menambah tangis baginya.
Aku mencoba cara yang paling aman, yaitu menunggunya.Andai saja aku berani mendekat dan menghiburnya. Akan kuberitahukan padanya bahwa Tuhan Maha Penyayang , Maha Mengatur hidup seluruh umatNya. Adukan semua padaNya, bisa jadi hidup yang sedang ia tangisi justru menjadi hidup yang orang lain inginkan. Akan Tuhan datangkan hadiah terindah yang mungkin tidak akan ia sangka skenarionya. Ya, kita perlu bersyukur dan hanya perlu menunggu. Dimanakah Sang Penyelamatnya? Segeralah datang, dan selamatkan dia. Bawa dia keluar dari hidupnya yang sedang ia tangisi.
0 komentar:
Posting Komentar