Dulu, kita pernah duduk bersama, mengayuh perahu kita dan kamu bilang "Kita akan segera melewati perairan ini dan akan segera sampai di daratan." Aku dan kamu berada di satu perahu yang sama. Entah apa yang membuat hingga (akhirnya) aku sampai di daratan terlebih dahulu dan kamu masih berada di tengah perairan . Aku tak pernah menyebut 'akhirnya', karena aku yakin ini belum berakhir. Aku yang terlalu egois dan terobsesi akan daratan ataukah kamu yang tak terlalu antusias dengan daratan. Ahhh aku hampir lupa, masalah sebenarnya bukan ada pada kita, tetapi perahu yang kita tumpangi. Ahhh aku juga hampir saja memvonis bahwa 'perahu'lah yang patut dipersalahkan, pengaruhnya dengan tujuan kita ia hanya seper sekian persen dibandingan dengan sikap yang kita ambil.
Aku ingat ketika kamu terbuai akan keramaian tengah laut, kamu bilang "Mari kita istirahat dan bermain sejenak. Kita tidak perlu sampai di daratan terlalu cepat, yang penting sampai pada waktu yang tepat" Ku biarkan kita untuk istirahat sekadar melepas lelah dan mengembalikan semangat tekad juang kita, namun kamu nampaknya terbuai dengan 'keramahan' laut yang ada. Kamu hampir lupa bahwa tepat saja tidak cukup untuk sampai di daratan, tetapi cepat untuk sampai di daratan juga kita butuhkan.Memang banyak hal yang akan datang bagi mereka yang menunggu waktu yang tepat, namun jika terlalu lama itu jua tidak akan baik. Biasanya itu hanyalah hal-hal yang disisakan oleh mereka yang bekerja keras untuk cepat sampai di daratan. Kamu mau tidak mendapat apa-apa ketika sudah sampai di daratan? Kamu hanya mencari pembelaan kan?
Aku pernah bilang untuk mengingatkan tujuan kita sebenarnya, "Kamu boleh bermain dan merasa tengah laut ini sangat menyenangkan untuk persinggahan, tapi tujuan kita sebenarnya adalah daratan. Jangkar kita hanya satu, aku tak mungkin memaksamu untuk mengangkatnya jika kamu masih ingin tetap bertahan di sini." Aku tak mungkin meninggalkanmu di tengah lautan tanpa perahu, tanpa jangkar, karena jika itu kulakukan kamu akan terombang-ambing di tengah lautan. But, i have to choose. Aku memintamu untuk memberikan sekocimu untukku, agar aku sampai pada tujuan kita sebenarnya yaitu daratan. Lalu kunaiki sekociku, dan kubiarkan kamu menaiki perahu besar kita. Aku berharap meski aku yang berlayar terlebih dahulu menggunakan perahu kecilku, kita akan bertemu di tengah jalan karena laju perahu besarmu akan lebih cepat ketimbang milikku. Aku menaruh harapan besar untuk hal ini, karena perahu besarmu berisikan awak-awak yang bisa mendukungmu kapanpun kamu membutuhkan, sedang aku hanya seorang diri menggunakan sekoci kecilku.
Kukayuh sekociku, meski berjalan lambat, berlayar sangat pelan, tapi aku tak pernah mengayuh mundur. Meski berpeluh keringat, dan hampir saja tekadku hilang di tengah laut, aku semakin dekat dengan daratan. Sudahkah kamu menjalankan perahu besarmu? sedang aku telah melihat tanda-tanda tepian daratan? Aku sampai di daratan. Lama aku menunggumu, dan kamu tak kunjung tiba. Aku mendengar kabar, bahwa kamu sudah mulai menjalankan perahu besarmu. Tatkala aku kembali untuk menaiki perahu kita bersama, untuk mendorong perahu besarmu. kamu tampak selalu mencari pembelaan dan meyalahkanku. Kamu tak pernah berjiwa besar atas apa yang orang lain peroleh. Aku tak pernah mengungkit keberhasilanku mencapai daratan, namun justru kamu menyinggungku dengan perkataanmu, "Untuk apa kamu masih disini dan kembali ke sini? Bukankah kamu sudah sampai di daratan? atau jangan-jangan kamu tidak dapat apa-apa ketika sampai di daratan?" lalu kamu tertawa meledek. Aku mecoba riang meski kadang sakit lalu aku menangis. Namun, lagi-lagi namun, kamu justru bilang, "Cengeng, kekanakan!" Tidak peduli siapa yang berkata demikian, aku ingin berteriak, "I'm not childish, I'm just childlike." Mencoba riang, mencoba memaafkan tanpa memandang, jatuh lalu bangkit kembali untuk berlari, mencoba untuk menerima siapa saja tanpa curiga, mencoba menggembirakan orang lain meski tanpa sambutan yang baik.
1 komentar:
ya ampuun Ri, tulisanmu baguuss bgt,,aku membacanya sampai akhir..
Posting Komentar