Senja di Kota itu [21 April 2014]

Perempuan itu mencoba membaca tanda di wajahku. Aku pergi tak menghiraukan siapapun, mataku panas, memerah kemudian hujan siang itu semakin deras. Siapa yang peduli? Kemudian aku duduk di teras tempat itu. Tempat yang paling mengerikan sepanjang hidupku. Bau yang mungkin akan membuat nyinyir semua orang. Rumah sakit. Pembicaraan yang baru saja terjadi membuatku tak menghiraukan perasaan siapapun, termasuk perasaanku sendiri. Aku baru sadar, bahwa selama ini kepedulianku pada perasaanku tidak lebih besar daripada perasaan kasihku kepada orang lain. Begitu egoiskah aku pada diriku sendiri? Ya, hari ini kukeluarkan semua jeritan yang kupendam. Aku menangis sejadi-jadinya di teras tempat itu. Tak peduli, dokter, perawat maupun pasien yang melihatku iba. Aku hanya berjanji, bahwa aku hanya boleh bersedih maksimal hingga matahari terbenam. Selama ini aku hanya tutup kuping dengan earphone tak bernada yang terpasang di telingaku jika orang berkata tidak baik tentangku, tentang bapakku, tentang emakku, tentang orang-orang yang kucintai. Lalu kemana saja aku selama ini? Aku hanya tak mau berdebat. Manusia tidak pernah benar di mata manusia lain. Kebenaran hanya milik Tuhan. Jika suatu persoalan terjebak pada orang yang usianya muda dengan orang tua, maka kebenaran adalah milik orang tua, dan sisanya untuk yang muda. Yang muda diam, yang tua berbicara tiada henti karena merasa benar. Aku jengah. Aku ingin didengar.

“Ya sudah, urusanku di sini sudah selesai. Aku akan pulang. Akan kutelpon kamu besok. Hati-hati di jalan.”
“Usia manusia tak sepanjang itu.” Kutelan kembali kata-kata ini sebelum melompati tenggorokan.
Ada sesuatu dari masa lalu mencegahku mengucapkannya betapapun sosok itu bukan saja sudah tertinggal lebih dari lima kilometer, meninggalkan rumah sakit melainkan bahkan, kehangatannya padaku, telah terpatri lebih lama dari itu. Aku menuju stasiun. Kembali ke kota perantauanku. Ia sudah cukup pulih untuk pulang dari rumah sakit bersama orang yang lebih ia sukai.
Suasana ramai stasiun tidak cukup mengalihkanku dari moment 1 jam yang lalu. Ada bagian yang membuatku sedih, sesedihnya. Pertanyaan liarku ini kemudian menguasai pikiranku, "Tidak begitu membanggakankah aku di matanya? Andai kamu tahu bahwa akupun sedang berikhtiar dan selalu berdoa untuk dapat membahagiakanmu..." Aku menahan airmataku, tertahan hingga 3 jam ke depan meskipun beberapa kali sempat terjatuh di dalam gerbong. Hanya akan kubasuh. Tidak akan lagi kumemungutnya. Tidak akan ada yang melihatnya.

Apa yang akan terjadi jika seseorang yang mencoba menyampaikan tentang bagaimana bersikap baik dan santun, justru dianggap anak sok tahu dan durhaka oleh seseorang yang dianggap memiliki surga di bawah telapak kakinya? Ketakutan terbesarku adalah ia akan benar-benar dibenci oleh Tuhannya.

Pernah mencoba merasakan betapa dinginnya hembusan angin di sore hari? Senja hari itu kunikmati di teras balkon belakang kosku. Sendirian. Aku hanya sedang berusaha menepati janjiku untuk bergembira setelah maghrib nanti dengan memejamkan mata, merasakan dinginnya hembusan angin sore itu, merasakan betapa hangatnya air mata. Kubuka mataku. Tidak kah kau lihat setiap senja menjelang maghrib selalu ada kawanan besar burung-burung liar yang melintas cepat dari langit menuju ufuk barat? Ya, dan aku melonjak kegirangan, bahwa bayangan segelap apapun itu tidak akan menyala selamanya, karena saat itu jualah saatnya matahari terbenam di ufuk barat. Dan senikmat apapun harta yang burung itu temukan di setiap siang hari, ia akan kembali ke rumahnya setiap hari pula, keluarga.


Dia, gadis sederhana

Nanti ada saatnya gadis berkerudung merah itu mencari atau dicari atau malah dicarikan seseorang untuk mendampingi hidupnya. Pernah dengar, “Laki-laki bebas memilih namun wanita berhak menolak”. Seems like true..

Jadi dia berhak menolak laki-laki yang mempunyai mobil tapi hasil dari orang tuanya. Dan iapun berhak menerima laki-laki yang meski hanya memiliki sepeda gunung tetapi dibeli dari hasil kerjanya sendiri.

Dia berhak menolak laki-laki yang gaya, fashion, style sudah se keren aktor atau boyband korea. Dan diapun berhak menerima laki-laki yang kesehariannya hanya memakai kaos dan baju koko.

Dia berhak menolak laki-laki yang memasang foto oki setiana dewi di ponselnya. Dan saya berhak menerima laki-laki yang selera musik dan bacaannya sama dengannya.

Dia berhak menolak laki-laki tampan yang sholatnya hanya saat magrib saja atau saat shalat jumat saja. Dan dia berhak menerima laki-laki sederhana yang selalu memenuhi kewajiban shalatnya dan mengusahakan untuk selalu tepat waktu serta selalu berusaha meluangkan waktunya untuk shalat sunnah.

Dia berhak menolak laki-laki yang terlalu mementingkan makan enak dan mewah, dan dia berhak menerima laki-laki yang akan mengajaknya untuk berpuasa sunnah.

Dia berhak menolak laki-laki yang kebal kebul dengan bangga membakar uangnya, uang bapak ibunya untuk merokok, dan dia berhak menerima laki-laki yang justru meluangkan waktunya di tengah kesibukannya bekerja atau belajar di perantauan untuk menemui dan menjenguk bapak ibunya di kampung halamannya.

Dia berhak menolak laki-laki yang terlampau sering melontarkan kata-kata kasar pada temannya, dan dia berhak menerima laki-laki yang tidak gengsi menjalin hubungan harmonis dan akrab dengan teman-temannya.

Dia berhak menolak atau menerima, tetapi pada akhirnya dia masih harus menunggu untuk menerima seseorang yang akan memilih dia nantinya.. Dia, gadis sederhana yang tidak rupawan dan begitu mencintai Tuhannya.

@fiktif

Surat Ibu

Teruntuk anakku nun disana,

Anakku...
Ini adalah surat dari ibumu yang lemah. Aku menuliskannya dalam keadaan malu, setelah keragu-raguan dan penantian panjang. Berkali-kali aku menahan untuk menggenggam pena. Akan tetapi, air mata menghalangi dan menghentikannya, maka mengalirlah rintihan hati.

Anakku...
Setelah umur panjang ini, kulihat engkau telah menjadi seorang pria dewasa yang memiliki akal sempurna dan keseimbangan emosional. Dan engkau berkewajiban membaca lembaran ini. Lalu jika engkau ingin, robeklah ia sebagaimana engkau telah merobek-robek sisi-sisi hatiku sebelumnya.

Anakku...
Dua puluh lima tahun lampau adalah hari yang benderang dalam hidupku. Ketika dokter memberitahuku bahwasanya aku hamil!. Para ibu, wahai Ananda, tahu betul makna kata-kata ini. Ia adalah campuran dari gembira dan bahagia, dan permulaan perjuangan di samping perubahan-perubahan psikis dan psikologis...
Setelah kabar gembira ini, aku mengandungmu selama sembilan bulan dalam perutku dengan penuh kegembiraan. Aku berdiri, tidur, makan, dan bernafas dengan payah. Akan tetapi, itu semua sama sekali tidak mengurangi kecintaan dan kegembiraanku dengan kehadiranmu. Bahkan, cinta dan kerinduan kepadamu terus tumbuh dan berkembang hari demi hari.
Aku mengandungmu hai anakku, dengan kesusahan diatas kesusahan, kepedihan diatas kepedihan. Aku gembira dengan gerakanmu, senang dengan bertambahnya bobotmu, padahal itu adalah beban yang berat bagiku...

Sungguh itu adalah masa-masa berat nan panjang. Setelah datang fajar yang membelah malam, dimana ku tidak dapat memejamkan mata. Aku menahan sakit, pedih, takut, dan cemas yang takkan mungkin pena ini dapat melukiskannya, dan lisan ini dapat menggambarkannya.

Sakitku kian bertambah hingga aku tak sanggup lagi menangis. Berkali-kali aku melihat kematian dihadapan mataku. Sehingga engkau keluar ke dunia ini, maka bercampurlah air mata kegembiraanku yang menghapus segala kepedihan dan lukaku, bahkan aku merindukanmu betapapun pedih lukaku. Dan aku menciummu sebelum setetes air pun membasahi tubuhmu.

Wahai anakku...
Tahun demi tahun umurmu terus berlalu. Aku terus membawamu dihatiku, dan memandikanmu dengan tanganku. kujadikan haribaanku sebagai kasurmu, dadaku sebagai makananmu. Aku begadang malam hari agar engkau dapat tidur dengan pulas. Dan aku merasakan lelalh dan kantuk disiang hari.
Harapanku sepanjang hari adalah melihat senyumanmu; dan kegembiraanku setiap saat adalah engkau meminta sesuatu yang kubuatkan untukmu. itulah puncak kebahagiaanku.
Siang dan malam terus berlalu, sedangkan aku terus dalam kondisi seperti itu; melayanimu tanpa jemu, dan menyusuimu tanpa henti, bekerja tanpa lelah, dan mengajakmu pada kebaikan, serta membimbingmu tanpa putus asa. Aku merawatmu hari demi hari sehingga engkau tumbuh menjadi kuat, menjadi seorang pemuda, dan tampak padamu tanda-tanda kedewasaan. Lalu akupun berlari kian kemari mencarikan wanita idamanmu.
Tibalah saat pernikahanmu. Hari engkau bersanding, maka hatiku terasa terputus. Air mataku mengalir karena gembira tetapi sedih karena akan berpisah denganmu.
Malam-malam telah menjadi kelam, hari-hari kian panjang, aku tidak melihatmu dan tidak mendengar suaramu, dan engkau masa bodoh dengan sebaik-baik orang yang merawatmu.

Wahai anakku...
Jadikan aku seperti kedudukan temanmu yang paling jauh! Jadikanlah aku wahai anakku, salah satu terminal bulanan dalam kehidupanmu agar aku dapat melihatmu walau hanya sesaat...

Wahai anakku...
Tulang punggungku telah rapuh, jemarikupun telah gemetaran, serta penyakit telah menggerogoti tubuhku dan melemahkanku. Aku berjalan, berdiri dan duduk dengan susah payah, namun hatiku masih tetap penuh dengan cinta dan kasih kepadamu.
Jika suatu hari ada seseorang yang memuliakanmu, tentulah engkau akan memujinya atas perbuatan baiknya itu. Sementara ibumu telah berbuat baik terhadapmu dengan kebaikan yang tidak pernah engkau lihat sebelum dan sesudahnya. Ibumu telah berkhidmat untukmu tahun demi tahun...

Wahai anakku...
Setiap kali aku mengetahui engkau bahagia dalam kehidupanmu bertambah kegembiraan dan kebahagiaanku. Jadikanlah aku seperti seluruh pembantumu yang engkau beri upah dan berilah aku upah berupa kasih sayangmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.

Duhai anakku...
Aku berangan-angan untuk melihatmu dan tidak menginginkan selain dari itu. Biarkanlah aku melihat masamnya mukamu, pahitnya senyummu, dan gelegak amarahmu...

Wahai anakku...
Hatiku hancur, air mataku mengucur. Aku bersyukur engkau telah hidup berlimpah rezeki. Banyak orang selalu membicarakan kebaikan akhlakmu serta kedermawananmu. Aku, seorang wanita lemah yang telah digerogoti kerinduan, dicambuk kesedihan. Seorang wanita yang menjadikan kesedihan sebagai syiarnya dan keresahan sebagai selimutnya.

Duhai anakku...
Inilah pintu surgamu. Laluilah ia. Ketuklah pintunya dengan senyum tulus, permohonan maaf, serta pertemuan yang baik. Semoga aku menemuimu disana dengan rahmat Tuhanku sebagaimana Rasulullah pernah bersabda,
"Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah, jika engkau ingin, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah ia..." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Anakku...
Sejak engkau menjadi pemuda, yang mencari dan mengharapkan pahala. Tapi sekarang engkau melupakan hadits Nabi,
"Sesungguhnya sebaik-baik amalan kepada Allah shalat tepat pada waktunya, kemudian berbakti kepada kedua orang tua, kemudian berjihad dijalan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah dia pahala itu. Tanpa perlu memancung tenggorokan dan menumpahkan darah di medan jihad. Sesungguhnya aku berdo'a semoga engakau tidak termasuk golongan yang dikatakan Nabi Shallallahu alaihi wassallam,
"Sunguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka!" Dikatakan, "Siapa ya Rasulullah?" Beliau bersabda, "Seorang yang mendapatkan kedua orang tuanya di usia tua, salah satu atau keduanya, kemudian dia tidak masuk surga..." (HR. Muslim)
"Maukah kalian aku sampaikan tentang dosa yang terbesar?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengucapkannya tiga kali. Para sahabat menjawab, "Ya, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." (HR. Bukhari).
"Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR. Ahmad).
"Tiga golongan orang yang tidak akan dilihat (dengan pandangan rahmat) oleh Allah pada hari kiamat; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang suka minum minuman keras, orang yang suka mengungkit pemberiannya." (HR. Nasaai dan dinyatakan shahih oleh Albani).
"Terlaknat orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR. Hakim dan Thobrani serta dinyatakan shahih oleh Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib, 2/334).

Wahai anakku...
Aku tidak akan mengangkat keluhanku dan tidak mengungkap kesedihanku kepada Allah, karena jika keduanya membumbung tinggi keatas awan, lalu sampai kepintu langit... Niscaya engkau akan ditimpakan azab dan kesialan perbuatan durhaka, yang turun kepadamu, dan keluargamu akan ditimpa musibah.
Tidak! Aku tidak akan melakukan itu wahai anakku... Engkau tetap belahan jantungku, penyejuk hatiku, dan perhiasan duniaku...
Uban telah menghiasi rambutmu duhai anakku. Engkau akan semakin tua. Suatu saat engkau akan menulis surat kepada anak-anakmu dengan airmata, sebagaimana aku menuliskannya kepadamu. Dan dihadapn Allah semua akan dikumpulkan dan diadili.

Wahai anakku...
Takutlah kamu kepada Allah. Perlakukanlah ibumu dengan baik. Seka airmatanya, hapus luka dan kesedihannya. Walau luka tetap akan meninggalkan goresan. Sesungguhnya surga ada diantara kedua telapak kaki ibumu.
Camkanlah wahai Anakku!

Ketuaan mulai nampak dalam belahan rambutmu. Tahun demi tahun akan berlalu, dan engkau akan menjadi tua renta, sedangkan setiap perbuatan pasti akan dibalas setimpal. Engkau akan menulis surat kepada setiap anak-anakmu dengan cucuran air mata, sebagaimana yang ibu tulis untukmu. Dan di sisi Allah, akan bertemu orang-orang yang berselisih, hai Anakku. Maka bertakwalah engkau kepada Allah terhadap ibumu. Usaplah air matanya dan hiburlah agar kesedihannya sirna.
Robek-robeklah surat ini setelah engkau membacanya. Namun ketahuilah, siapa saja yang beramal shaleh, maka keshalehan itu buat dirinya sendiri, dan siapa yang berbuat jahat, maka balasan buruk bakal menimpanya.
"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa berbuat jahat, maka (dosanya) menjadi tanggungannya sendiri. Dan Rabbmu sekali-kali tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya." (QS. Fushshilat: 46).
Ibumu yang merindukan......

" isi surat dari buku karya Abu Zubeir Hawary "

(ke)mungkin(an) saat aku tak mengangkat teleponmu

Aku bisa saja tidak mengangkat teleponmu, karena mungkin aku sedang menangis. Aku hanya tak ingin suaraku terdengar sangat menyedihkan. Aku tak mengangkat teleponmu.
Kemudian beberapa saat kemudian atau satu hari setelah itu aku akan menelponmu sebagai ganti kamu telah menelponku namun tak kuterima. Kamu memarahiku, karena aku begitu sulit dihubungi. Aku memilih itu. Aku memilih dimarahi olehmu daripada kamu harus mendengar suaraku yang begitu menyedihkan.

Abah

Tak sempat ku mengerti kau tunjukkan arah saat ku tersesat
beri cahaya saat ku sendiri dalam gelap
namun waktu tak pernah rela menunggu
hingga akhirnya kau pun pergi

terlambat kusadari kau teramat berarti
terlambat untuk kembali dan untuk menanti kesempatan kedua yang tak akan mungkin pernah ada

baru ku teringat kau hembuskan angin saat ku bernafas
siramkan air saat aku dalam kekeringan
namun tak pernah ku hiraukan semuanya
hingga kini kau pun tiada

biarkan ku hidup dalam penyesalan ini, sampai nanti kau akan kembali

[Cakra Khan - Setelah Kau Tiada]


Aku seorang gadis remaja yang kuliah di sebuah universitas di kota kecil kelahiranku. Seumur hidupku hingga aku kuliah sekarang ini, semua adalah keputusan abah. kuliah dimana jurusan apa termasuk semua itu. Aku menurut. Hingga saat nya aku lulus dan di wisuda, abahlah yang mencarikan pekerjaan untukku melalui kolega kantornya. Dan saat itu aku berontak. Aku merasa sudah berhak menentukan arah hidupku sendiri tanpa campur tangan abah. Aku sudah dewasa. Yah aku merasa sudah dewasa saat itu. Ku koreksi. Bahwa selama ini aku merasa hanya menjadi manusia yang hanya abah inginkan. Tapi bukan aku. Aku memilih kabur dari rumah. Dan kepergianku selama satu minggu tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku kembali ke rumah setelah satu minggu, dan kamu tahu? Abahku sakit dan hanya ada ibu yang menungguinya di rumah. Gengsiku masih terlalu gedhe untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu. Tidak abah tidak juga ibu membicarakan masalah yang menyebabkanku pergi dari rumah. Kuanggap abah masih pada keputusannya dan akupun masih pada keputusanku. Aku harus mempertahankan pendapatku.

Malam harinya tanpa pembicaraan basa basi pada abah dan ibu aku beranjak masuk ke kamar dan tidur. Menjalang pukul setengah dua belas malam ibu membangunkanku.

Menangis dan panik, dan ibu berkata, "cepat ke kamar abahmu. Sakit abahmu kambuh." Aku loncat dari kasurku menuju kamar abah.

Abah merintih kesakitan dan abah berkata, "dek beli obat ini di apotik ya sekarang."

Tanpa pikir panjang aku membawa bungkus obat yang sudah tak ada isinya milik ayah itu. Aku mengeluarkan motor dan menuju apotik terdekat untuk membeli obat. Aku menangis di tengah jalan sembari mengendarai motor seorang diri. Aku hanya.... merasa sangat bersalah... jika keras kepalaku membuatku belum kembali ke rumah saat ini aku tidak tau apa yang akan terjadi. Siapa yang akan keluar tengah malam membelikan obat abahku ke apotik sementara ibu tidak bisa mengendarai kendaraan.


Masih bisakah aku berkata, aku sudah dewasa dan berhak menentukan pilihan hidupku sendiri? Sementara aku adalah anak abah dan ibu. Selamanya aku tetap anak-anak. Selamanya aku tetap anak. Setidaknya bagi mereka. Tidak berhak aku berkata, bahwa hidupku tidak berhak dicampuri oleh orang lain, apalagi orangtuaku sendiri. Dan aku tidak mau terlambat menyadari bahwa segala keputusan dan kebaikan abah ibu yang dilakukan untukku, adalah semuanya demi kebaikanku, demi kebahagiaanku. Dan hidupku harusnya mendengarkan orang lain, tentu aku tidak boleh acuh.

Satu minggu selama kepergianku, bukannya abah dan ibu tidak mencari atau menanyakan keberadaanku pada teman-teman, mereka hanya mau aku bahagia dalam jalan yang ku pilih itu, menyadari segala keputusanku itu yang akan membawaku pada kebahagiaanku, mereka membiarkanku dulu, agar aku bahagia.