Iman & Siti

Man...

Malam ini hujan gerimis, sama seperti malam itu. Hari di mana kamu datang ke rumah mengetuk pintu dan membawa sebuah amplop bertuliskan namamu dengan seseorang bernama Siti.

“Maaf, aku tidak pernah cerita.” Katamu saat itu.

Meski bisa kulihat air mata di ujung matamu sebenarnya sudah tak bisa lagi kamu bendung. Belum sempat aku merespon, kamu pergi menjauh. Aku diam. Berdiri mematung melihat bayanganmu yang semakin jauh ditelan gelap di ujung gang. Aku tertawa getir, kemudian menangis setelah kamu pergi, Man.

Apa kau pernah mencoba berlagak tegar, meski hatimu sedang pedih? Aku sedang mencoba melakukannya selepas kamu pergi.

Apa kamu pernah berkata padaku bahwa kau menyukaiku? Tidak. Juga tak sekalipun aku pernah mendengar nama Siti selama kau berada di sampingku, ya sebagai kawan baikmu. Aku tak pernah pandai menerjemahkan sikap baikmu, perhatianmu padaku. Kuanggap bahwa kau kawan yang amat baik padaku. Perempuan bukan ahli penerjemah kode. Setidaknya, jika suka, katakan suka. Maka aku akan mengerti.

Beberapa kali kau kugoda, bahwa kau adalah lelaki sempurna yang perempuan idam-idamkan. Lalu kau bilang bahwa kau tak sebaik yang aku kira. Aku terlalu ‘tinggi’ bagimu. Aku hanya perempuan biasa saja yang tetap ingin kadang bersedih dan juga ingin sesekali bahagia. Aku juga perempuan biasa saja yang menginginkan seorang pelipur lara dengan cara yang benar. Ah, kamu itu lelaki baik. Aku mengenalmu bukan hanya sehari atau dua hari saja, Man. Belasan tahun kita tumbuh bersama. Aku tahu sebaik apa dirimu. Atau untuk menolakku, kamu akan bilang bahwa kamu tidak pantas untukku?

Iman, penilaian manusia itu seperti permen kapas, yang mudah larut jika terkena air. Percayalah, bahwa kamu orang baik yang juga pantas mendapatkan yang baik. Ya, jika aku tidak terlalu baik untukmu, setidaknya Siti adalah pilihan yang terbaik.

Sebelum kedatanganmu malam itu, beberapa pesanku tak pernah kau balas. Aku seharusnya cukup pandai menerjemahkan sinyal tersebut, yaitu bahwa ‘kau telah berubah, dan tidak tertarik lagi padaku. Atau kau memang telah bosan mendekatiku.’ Sedikit khawatir bercampur rasa rindu. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku akan lega jika pesanku setidaknya kau baca. Ya, aku memang sering bilang padamu bahwa hobimu yang lambat membalas pesanku kadang membuatku kesal. Hingga akhirnya mungkin kamu benar-benar jenuh hingga tak membalas pesanku. Saat itu aku hanya ingin kau membaca pesanku, bahwa aku rindu. Seharusnya, saat itu aku lontarkan candaanku padamu agar kau berkenan membalasnya. “Firman Tuhan yang pertama, adalah Iqra’ ‘bacalah!’” ya setidaknya bacalah, agar tanda di telepon pintarku berubah menjadi dua centang berwarna biru.

Belasan tahun kita bermain bersama membuat orang di sekitar kita mengira kita akan saling berjodoh. Namun, sekali lagi namun... manusia hanya bisa menduga, sedang Tuhan tau segalanya. Untuk apa menjelaskan rasa kepada manusia, jika Tuhan sudah menampung segalanya.

0 komentar:

Posting Komentar