Seorang Bapak di Ruang Tunggu

Suatu hari saya duduk seorang diri menunggu bertemu seorang Bapak Guru. Ruang tunggu itu terasa asing karena itu pertama kalinya saya membuat janji dengan Bapak Guru tersebut. Saya duduk di depan ruangan Bapak Guru. Saya duduk menghadap sebuah dinding, di sana tertulis suatu kutipan. Kemudian karena saya tertarik dengan tulisan tersebut saya mendekat dan mengeluarkan ponsel saya. Saya bermaksud untuk mengambil gambarnya. Namun, seperti kebiasaan yang sudah-sudah saya bukan tipe orang yang terlalu percaya diri untuk mengapture di tempat umum. Saya terbiasa melihat keadaan sekitar terlebih dahulu. Kemudian saya tengok kanan kiri. Di sebelah tempat duduk saya, ada seorang Bapak nampak memandangi saya. Kemudian saya melemparkan senyum sebagai tanda saya menyapa beliau. Bapak itu tidak merespon. Bapak itu melemparkan pandangannya lagi ke arah saya, tanpa maksud ingin membalas senyuman saya. Bapak itu tampak berfikir, namun saya tidak bisa membaca pikirannya. Saya melanjutkan niat saya. Memfoto. Setelah saya menyelesaikan misi saya, saya duduk kembali dan melanjutkan aktivitas bernama “menunggu”. Beberapa menit kemudian, ponsel Bapak tadi berdering, nada deringnya bukan nada dering bernada tetapi nada dering yang berkata seperti “Bambang memanggil” dengan logat bule-bule ngomong bahasa Indonesia. Bapak itu mengeluarkan ponsel dari saku sebelah kirinya. Menjawab telepon dan setelah cukup berbicara dengan seseorang di seberang telepon, Bapak tersebut menutup teleponnya. Saya memperhatikan. Bapak tersebut mengoperasikan ponselnya, setiap pergerakkan jarinya ke kanan atau ke kiri, ke atas atau ke bawah, ponsel tersebut memandu, seperti berbicara “Menu”, “Kontak”, “Pesan”, “Tulis pesan” dsb. Bapak itu tidak memandangi layar ponselnya namun mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kemudian saya tengok di samping tas kerjanya terdapat sebuah tongkat sepanjang 20 centi-an yang mungkin masih bisa dipanjangkan. Saya baru menyadari satu hal. Bahwa Bapak di samping saya ini, beberapa waktu lalu memang bukan dengan sengaja mengabaikan senyuman saya. Saya terlalu terburu-buru menghakimi Bapak ini kalau saya bilang “Bapak sombong dengan tidak membalas sapaan saya”. Saya terlalu terburu-buru berpersepsi, kemudian menghakimi. Saya terlalu sering berpersepsi terhadap seseorang, sampai saya lupa untuk mengenalnya atau sekadar menanyakan nama dan kabarnya.

Jangan sampai Pakdhe Tedjo bilang lagi kalau kita hidup pada jaman di mana perhatian dan sikap peduli malah dibilang ‘kepo’. Jangan sampai mencari tahu kebenaran (diam-diam) dari ‘sesuatu hal’ pada akhirnya juga akan dibilang kepo. Cari tahu, tapi nggak usah kebanyakan nanya.

Ya, setiap manusia memiliki cerita yang mungkin tak terbayangkan oleh manusia yang lain. Jangan mudah menyimpulkan, kemudian menilai.

0 komentar:

Posting Komentar