Aku & Partner


Semenjak kau datang pada malam gerimis itu dan membawa amplop bertuliskan namamu, aku berubah menjadi sosok yang ‘sok’ paling nelangsa. Kubiarkan perasaan paling nelangsaku hanya semalam. Keesokannya, aku mulai bangkit dan bukannya tidak mau peduli lagi padamu, aku masih akan tetap peduli padamu sebagai kawan baikku. Kuterima niat baikmu mengundangku ke moment terindahmu bersama Siti. Dulu, sempat kau tanyakan padaku, apa yang akan aku lakukan, tanpamu. Hari ini, detik ini aku sudah punya jawaban untuk itu. Aku akan melanjutkan hidupku, meski tanpamu. Ya, aku bersedia datang dengan membawa doa terbaik agar kebahagiaan selalu melingkupimu. Aku bawa seseorang yang tentu juga kau kenal dengan baik, agar aku tak terlihat terlalu kesepian. Kusiapkan sebuah kado terbaik kemudian kububuhkan ucapan singkat agar kalian bahagia dan selalu dilingkupi kasih Tuhan.

Dulu pernah kutulis sebuah surat untukmu yang kemudian kau kembalikan karena kau malas membacanya dan memintaku untuk berbicara langsung. Seandainya kamu mengenalku sebaik aku mengenalmu dulu, bahwa aku tak pandai berbicara sepertimu. Kutulis sebuah surat panjang melalui dinding buku mayaku agar kau tak tertarik membacanya. Aku tahu betul bahwa kau bukan pembaca yang baik. Kau pernah bilang bahwa alasanmu ‘menyukai’ status pendek pada sosial mediaku daripada catatan-catatan panjang yang kutulis di sana adalah karena kau tak pernah membaca catatan tersebut. Ya, kamu tidak menyukai membaca catatanku yang panjang. Kali ini aku sengaja membuat catatan panjang ini, agar kamu tidak tertarik membukanya apalagi membacanya.

Selalu kusimpan rasa sesal setiap kali aku memikirkanmu. Aku tidak begitu paham dengan semua sikap sederhanamu namun selalu membuatku takjub. Niat baikmu mengundangku hampir membuatku lupa bahwa perasaanku ini tidak boleh berjalan terlampau jauh. Dulu seringkali aku tertarik terlalu dalam hingga aku tak sadar, segala hal menarik dan menakjubkan darimu telah membuatku tak sengaja jatuh cinta pada kawan baikku.

Terakhir. Sungguh aku tak akan tinggal terlalu lama pada rindu yang tak benar ini. Selepas ini, aku berjanji akan jatuh cinta dengan cara yang benar. Rahasia ya.



...Ketika ku mendengar bahwa kini kau tak lagi dengannya, dalam benakku timbul tanya Masihkah ada dia di hatimu bertahta atau ini saat bagiku untuk singgah di hatimu. Namun, siapkah kau tuk jatuh cinta lagi?... Meski bibir ini tak berkata bukan berarti kutak merasa ada yang berbeda di antara kita. Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karena diriku tak mampu untuk bicara bahwa aku inginkan kau ada di hidupku. [HiVi - Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi ]




Note: Cerita ini hanya fiksi. Label nama wedding invitation ditulis sesuai request saya, alasannya sama, agar saya tidak terlihat terlalu kesepian. Haha. Tragis.

Iman & Siti

Man...

Malam ini hujan gerimis, sama seperti malam itu. Hari di mana kamu datang ke rumah mengetuk pintu dan membawa sebuah amplop bertuliskan namamu dengan seseorang bernama Siti.

“Maaf, aku tidak pernah cerita.” Katamu saat itu.

Meski bisa kulihat air mata di ujung matamu sebenarnya sudah tak bisa lagi kamu bendung. Belum sempat aku merespon, kamu pergi menjauh. Aku diam. Berdiri mematung melihat bayanganmu yang semakin jauh ditelan gelap di ujung gang. Aku tertawa getir, kemudian menangis setelah kamu pergi, Man.

Apa kau pernah mencoba berlagak tegar, meski hatimu sedang pedih? Aku sedang mencoba melakukannya selepas kamu pergi.

Apa kamu pernah berkata padaku bahwa kau menyukaiku? Tidak. Juga tak sekalipun aku pernah mendengar nama Siti selama kau berada di sampingku, ya sebagai kawan baikmu. Aku tak pernah pandai menerjemahkan sikap baikmu, perhatianmu padaku. Kuanggap bahwa kau kawan yang amat baik padaku. Perempuan bukan ahli penerjemah kode. Setidaknya, jika suka, katakan suka. Maka aku akan mengerti.

Beberapa kali kau kugoda, bahwa kau adalah lelaki sempurna yang perempuan idam-idamkan. Lalu kau bilang bahwa kau tak sebaik yang aku kira. Aku terlalu ‘tinggi’ bagimu. Aku hanya perempuan biasa saja yang tetap ingin kadang bersedih dan juga ingin sesekali bahagia. Aku juga perempuan biasa saja yang menginginkan seorang pelipur lara dengan cara yang benar. Ah, kamu itu lelaki baik. Aku mengenalmu bukan hanya sehari atau dua hari saja, Man. Belasan tahun kita tumbuh bersama. Aku tahu sebaik apa dirimu. Atau untuk menolakku, kamu akan bilang bahwa kamu tidak pantas untukku?

Iman, penilaian manusia itu seperti permen kapas, yang mudah larut jika terkena air. Percayalah, bahwa kamu orang baik yang juga pantas mendapatkan yang baik. Ya, jika aku tidak terlalu baik untukmu, setidaknya Siti adalah pilihan yang terbaik.

Sebelum kedatanganmu malam itu, beberapa pesanku tak pernah kau balas. Aku seharusnya cukup pandai menerjemahkan sinyal tersebut, yaitu bahwa ‘kau telah berubah, dan tidak tertarik lagi padaku. Atau kau memang telah bosan mendekatiku.’ Sedikit khawatir bercampur rasa rindu. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Aku akan lega jika pesanku setidaknya kau baca. Ya, aku memang sering bilang padamu bahwa hobimu yang lambat membalas pesanku kadang membuatku kesal. Hingga akhirnya mungkin kamu benar-benar jenuh hingga tak membalas pesanku. Saat itu aku hanya ingin kau membaca pesanku, bahwa aku rindu. Seharusnya, saat itu aku lontarkan candaanku padamu agar kau berkenan membalasnya. “Firman Tuhan yang pertama, adalah Iqra’ ‘bacalah!’” ya setidaknya bacalah, agar tanda di telepon pintarku berubah menjadi dua centang berwarna biru.

Belasan tahun kita bermain bersama membuat orang di sekitar kita mengira kita akan saling berjodoh. Namun, sekali lagi namun... manusia hanya bisa menduga, sedang Tuhan tau segalanya. Untuk apa menjelaskan rasa kepada manusia, jika Tuhan sudah menampung segalanya.

Pelajaran Episode Final Moon Lovers: Scarlet Heart Ryeo



#scarletheart punya tokoh utama bernama Hae Soo. Hae Soo menghabiskan hidupnya terjebak di antara 6 pria berkuasa dan punya ambisi berkuasa. 4 pria di antaranya tertarik padanya. Drama ini menunjukkan bahwa, perasaan manusia bisa saja berubah. Drama yang sejak awal dikemas jenaka bercampur sendu, pada episode final dibuat tragis oleh penulis dan tentu Sang Sutradara. Banyak yang menanti-nanti pada siapa Hae Soo akan menghabiskan sisa hidupnya, dan bagaimana ending drama tsb, setelah dapat spoiler dan ada yang menonton terlebih dahulu kemudian bilang, "Sudah, gak usah ditonton. Mengecewakan." Bagi saya, "mbok yo woles wae gaes". Karena drama memang harusnya berhenti dan cukup pada episode 20 saja tidak perlu terlalu panjang. Ya meskipun ada yang berpendapat, mengecewakan. Woles wae gaes, karena hidup sebenarnya bisa saja seperti cerita #scarletheart . Hidup kemudian mati. Bertemu kemudian menikah. Bertemu kemudian bisa juga berpisah. Yang dideketin siapa kemudian yang dinikahin siapa *eh. Seandainya kita menginginkan atau mengharapkan ending seperti apa, bisa kita jelaskan atau bilang langsung sama Sang Sutradara. Ya kayak berdoa. Kita mau sesuatu, kita bilang sama Tuhan. Ceritakan, Rinci, dan tentu dengan etika. Setelah bilang dan berdoa, itu sudah bukan urusan kita lagi. Karena Sang Sutradaralah yang menentukan. Kalau itu sesuai dengan harapan kita. Syukur. Jika tidak dan justru mengecewakan. Jangan hujat. Jangan nggak sopan lalu mengata-nga't**'. Syukuri lalu ambil pelajaran. Hidup tentu tidak berhenti hanya karena menunggu kita menangis tersedu-sedu dan menyalahkan Sang Sutradara. Hidup terus berjalan. Kita hanyalah penonton bagi kehidupan orang lain dan lakon pada takdir kehidupan masing-masing.


Sekian.

Seorang Bapak di Ruang Tunggu

Suatu hari saya duduk seorang diri menunggu bertemu seorang Bapak Guru. Ruang tunggu itu terasa asing karena itu pertama kalinya saya membuat janji dengan Bapak Guru tersebut. Saya duduk di depan ruangan Bapak Guru. Saya duduk menghadap sebuah dinding, di sana tertulis suatu kutipan. Kemudian karena saya tertarik dengan tulisan tersebut saya mendekat dan mengeluarkan ponsel saya. Saya bermaksud untuk mengambil gambarnya. Namun, seperti kebiasaan yang sudah-sudah saya bukan tipe orang yang terlalu percaya diri untuk mengapture di tempat umum. Saya terbiasa melihat keadaan sekitar terlebih dahulu. Kemudian saya tengok kanan kiri. Di sebelah tempat duduk saya, ada seorang Bapak nampak memandangi saya. Kemudian saya melemparkan senyum sebagai tanda saya menyapa beliau. Bapak itu tidak merespon. Bapak itu melemparkan pandangannya lagi ke arah saya, tanpa maksud ingin membalas senyuman saya. Bapak itu tampak berfikir, namun saya tidak bisa membaca pikirannya. Saya melanjutkan niat saya. Memfoto. Setelah saya menyelesaikan misi saya, saya duduk kembali dan melanjutkan aktivitas bernama “menunggu”. Beberapa menit kemudian, ponsel Bapak tadi berdering, nada deringnya bukan nada dering bernada tetapi nada dering yang berkata seperti “Bambang memanggil” dengan logat bule-bule ngomong bahasa Indonesia. Bapak itu mengeluarkan ponsel dari saku sebelah kirinya. Menjawab telepon dan setelah cukup berbicara dengan seseorang di seberang telepon, Bapak tersebut menutup teleponnya. Saya memperhatikan. Bapak tersebut mengoperasikan ponselnya, setiap pergerakkan jarinya ke kanan atau ke kiri, ke atas atau ke bawah, ponsel tersebut memandu, seperti berbicara “Menu”, “Kontak”, “Pesan”, “Tulis pesan” dsb. Bapak itu tidak memandangi layar ponselnya namun mendekatkan ponselnya ke telinganya. Kemudian saya tengok di samping tas kerjanya terdapat sebuah tongkat sepanjang 20 centi-an yang mungkin masih bisa dipanjangkan. Saya baru menyadari satu hal. Bahwa Bapak di samping saya ini, beberapa waktu lalu memang bukan dengan sengaja mengabaikan senyuman saya. Saya terlalu terburu-buru menghakimi Bapak ini kalau saya bilang “Bapak sombong dengan tidak membalas sapaan saya”. Saya terlalu terburu-buru berpersepsi, kemudian menghakimi. Saya terlalu sering berpersepsi terhadap seseorang, sampai saya lupa untuk mengenalnya atau sekadar menanyakan nama dan kabarnya.

Jangan sampai Pakdhe Tedjo bilang lagi kalau kita hidup pada jaman di mana perhatian dan sikap peduli malah dibilang ‘kepo’. Jangan sampai mencari tahu kebenaran (diam-diam) dari ‘sesuatu hal’ pada akhirnya juga akan dibilang kepo. Cari tahu, tapi nggak usah kebanyakan nanya.

Ya, setiap manusia memiliki cerita yang mungkin tak terbayangkan oleh manusia yang lain. Jangan mudah menyimpulkan, kemudian menilai.