(Dia) yang selalu Kusebut Guru

Satu yang ditinggalkan manusia di dunia ini adalah jejak, ya kan?
Itulah sebabnya, tiba-tiba aku memutar segala peristiwa yang aku alami dengannya. Baru tadi malam ketika tidur, senyumnya melintas di dalam mimpiku. Bukan tentang cerita dia, memang.. Namun hanya senyumnya masih mampu kuingat setelah bangun tidur... Aihhh... aku yakin dia sedang berada di tempat yang belum bisa kujangkau..

Dia, guru SD ku. Namanya Pak Shidiq, guru bahasa Inggris, bahasa Jawa, sekaligus Kepala Sekolah.. Jika beliau masih hidup, mungkin beliau mirip Dedy Mizwar di film Tanah Surga (katanya), tapi style nya saja.
Karakter dan gesturnya mungkin campuran antara Dedy Mizwar dengan Mario teguh.

Kelas 5 SD - paling ingat adalah ketika habis ulangan, hari berikutnya Pak Shidiq membagikan kertas ulangan yang sudah dikoreksi. Aku menunggu namaku dipanggil, hingga ketika semua anak sudah selesai dipanggil semua oleh Pak Shidiq, tapi hanya aku yang belum mendapatkan kertas ulanganku.. Lalu, Pak Shidiq bilang "Ini kertas ulangannya siapa?" (menggunakan bahasa Jawa).

Aku mendekati beliau, memastikan bahwa kertas tersebut adalah kertas ulangan milikku. pojok kiri atas tertulis "A. A. Ardanareswari"
Jelas itu milikku. Aku bermaksud untuk mengambilnya, lalu beliau menjelaskan bahwa nama yang ada di daftar nilai namun belum punya nilai hanya Aji Adhitya A.
Pak Shidiq secara ringkas menjelaskan bahwa aturan penyingakatan untuk nama adalah menyingkatnya di bagian belakang, bukan di depan.. Supaya aku ingat betul dengan pesan beliau, aku diberi hadiah oleh beliau, dijewer.

Sejak saat itu, tepatnya waktu Ujian Nasional, kolom pada pengisian bagian nama pada lembar jawaban selalu tidak mencukupi untuk menuliskan namaku secara lengkap, aku menyingkatnya menjadi Aji Adhitya A. dan sejak saat itu pula, sering terjadi salah paham, karena biasanya aku dikira seorang laki-laki.
lihat, Pak.. pelajaran yang bapak ajarkan terbawa hingga saat ini..

Pak Shidiq itu beda. Ketika beliau masuk kelas, beliau jarang membawa buku panduan. Meski tidak ada buku yang beliau pegang, namun nampak bahwa materi yang beliau kuasai tidak hanya terbatas seperti yang ada di dalam buku.
keren kan?

ahh, aku mulai merapal doa, supaya bapak baik-baik saja di sana...



**komentar di FB:

Selamat :*

19 Januari - 17 Februari - 25 februari - 27 Februari - 4 Maret - 12 April - 27 April - 30 April - 8 Mei - 9 Juni - 6 Juli - 28 Juli - 13 Agustus -16 September - 4 Oktober - 31 Oktober - 4 November - 8 November - 2 Desember

Hidup terlalu sempurna untuk sekadar dirayakan...


Ratusan ucapan selamat dan doa berdesakan dalam inbox sms, twitter, dan pesan dinding di facebook. Dari orang-orang yang benar-benar aku kenal sampai orang orang yang benar-benar tidak aku kenal. Aku membacanya satu persatu, meski tak bisa terjawab semuanya. Dalam hati ku sampaikan, "terimakasih banyak, mumumumah...cinta kalian semua". Aku benar-benar terharu. Doa yang datang dari orang-orang yang tak benar-benar kukenal dan tak pernah kutemui--terasa nyata sebagai doa yang tulus dan tak meminta balasan apapun. Kebanyakan mereka adalah fans-fans (saya) :p

Aku tak mengerti mengapa mereka tergerak untuk memberi selamat dan mendoakanku. Ah ya sudahlah, hidup memang bukan melulu soal mengerti atau tidak mengerti. Aku hanya percaya, konon 40 orang yang berdoa saja sudah cukup menggetarkan langit dan membuat Tuhan tak kuasa untuk tak mengabulkannya. Kini, aku membaca hampir ratusan doa untukku? Apakah Tuhan punya cukup alasan untuk tak mengabulkannya? Semoga tidak. hehehe'

Hidup terlalu sempurna untuk sekadar dimengerti...

Hidup terlalu sempurna untuk dihitung..

Kini aku yakin benar, hidup adalah karunia. Perkara hidup, kita tak pernah meminta, tetapi kita 'diberi'. Betapa banyak yang sudah aku dapatkan selama 17 tahun ini, yah tanpa aku meminta. Eh barangkali sesekali aku memang berdoa karena menginginkan sesuatu, tetapi Tuhan memberiku hidup yang isinya berwarna warni. Yah, hidup terlalu sempurna untuk dihitung jumlahnya, terlalu berwarna untuk diingat warnanya.

Kini usiaku 17 tahun. itu setara dengan 204 bulan, atau 816 minggu, atau 5712 hari atau 137088 jam, atau 8225280 menit, atau 493516800 detik. Semoga usiaku tak terperangkap dalam jarum arloji atau bilangan digital sistem kalkulator. Hitungan waktu hanyalah cermin dari proses; ada yang sudah kita capai, ada yang belum. Ada yang bertambah, ada yang berkurang, dan sesungguhnya hidup terlalu sempurna untuk dikalkulasikan.

Kini, aku di sini. Mengakrabi waktu yang terus berlalu, menghitung detik-detik berguguran. Seraya merapalkan doa-doa, aku meneguhkan janji itu sekali lagi, berkali-kali hingga aku tak pernah berpikir untuk bosan mengikrarkannya, "Yeaaah, aku akan selalu mencintaiMu!"

[selamat ulang tahun :* ]
ps. pesanku: kalau usiamu ternyata menjelang kadaluarsa, dan esok adalah batas waktunya, daftarilah apa saja yang sudah dan belum kamu lakukan dalam hidupmu! Bayarlah hutang budimu pada Tuhan!

Tentang Kehidupan

Bukan hal mengagetkan sebenarnya, bukan hal yang luar biasa memang, tapi entah mengapa, tiap kali itu tersampaikan, akan selalu sukses menimbulkan perasaan yang berbeda dalam diri. Kadang menggelora, kerap pula menyayat, atau mungkin sekedar menimbulkan perenungan dalam. Tergantung kronologisnya, tergantung pula individunya, bahkan juga tergantung timing-nya.

Cerita kematian. Ya, sadar ataupun tidak, informasi inilah yang lumayan kerap mengetuk-ngetuk gendang telinga saya tiap kali pulang. Lebih kerap hidup di kota orang dan lumayan jauh dari kampung halaman, mau tak mau akan membatasi akses saya terhadap informasi yang terjadi di kampung halaman. Info-info penting saja mungkin yang lumayan ter-update. Lewat SMS, atau lewat telepon genggam. Semacam dinamika keluarga, ataupun segala yang terjadi di tetangga-tetangga dekat, atau yang terjadi dengan teman atau sanak saudara dari orang tua. Dan cerita kematian ini, adalah catatan penting yang kerap terlewatkan untuk tersampaikan.

Lalu pada akhirnya kemarin, saat saya pertama kali menikmati momen pulang kampung setelah beberapa minggu tidak pulang, informasi itu datang lagi. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya info itu sudah datang dari ibu saya lewat perbincangan di telepon. Tapi hanya pemberitahuan, tak begitu lengkap. Tak datang dari sumber yang paling dekat.

Orang itu adalah tetangga saya. Lumayan jauh sebenarnya bagi kaca mata orang kota. Tapi, berhubung saya tinggal di pedesaan dimana kita saling mengenal satu sama lain, bahkan sampai satu desa, maka jarak segitu adalah jarak yang teramat dekat. Orangnya sudah tua, mungkin seumuran pakdhe (lebih tua dari seorang ayah). Beliau sering kali membantu menyelenggarakan pengajian setiap sebulan sekali di rumah. Bahkan ketika, kakak lelaki saya menikah, Beliau termasuk yang mempersiapkan tenda, kursi, dan perangkat sound system lainnya. Beliau akan selalu muncul untuk turun tangan membantu siapapun jika di desa kami ada salah satu yang sedang punya gawe.

Tapi kematian akan selalu menjadi nasehat terbaik. Selalu, bagi siapa saja yang mau mengambil pelajaran. Entahlah, saat itu, ketika saya tengah kumpul dengan bapak - ibu, perbincangan itu dimulai. Awal mulanya hanya ingin menyampaikan berita kematian tetangga saya itu. Saya jawab sudah tahu. Kemudian melebar. Ganti membicarakan sang almarhum. Tentang aktivitasnya, tentang semasa hidupnya. Awalnya saya hanya sekadar mendengarkan, namun kemudian terpancing untuk bertanya.

Tidak penting apa yang saya tanyakan, namun cerita itu, tentang sepenggal kisah tetangga saya itu menjalani kehidupannya, tiba-tiba menyadarkan saya. Kelak, ketika kita tak mampu lagi mengadakan konferensi pers untuk mengklarifikasi opini yang terlontar mengenai kita, ketika kita tak akan bisa lagi membantah celaan yang menerpa kita, atau saat kita tak akan sanggup lagi berbangga hati kala seseorang memuji kita... saat maut itu telah sempurna menjemput... saat itulah... apa yang sudah kita lakukan semasa hiduplah yang bakal tersuarakan. Mungkin jelek, mungkin bagus. Tergantung dengan catatan kehidupan yang telah kita torehkan sepanjang periode hidup. Catatan yang mungkin teramat dalam membekas pada diri tetangga-tetangga kita, keluarga kita, teman-teman kita, atau pada lingkungan kita....pada alam. Tak mampu lagi kita untuk membantahnya, pun juga tak kuasa lagi kita untuk menambah-nambahi. Sebab, apa yang telah kita tulis semasa hiduplah yang bakal terbaca. Bila itu adalah sebuah keburukan, maka terlambat sudah untuk menghapusnya, lalu menulisinya dengan tulisan-tulisan kebaikan. Pun juga, bila itu adalah kebaikan-kebaikan, maka tak ada waktu lagi untuk menstabilonya, menggarisbawahi, atau sekadar mempertegas tampilannya.

Maka, jika saat itu tiba-tiba kami membicarakan tentang begitu ringan tangannya bapak itu pada sodara paling dekatnya sekalipun, (pada tetangga-tetangganya). Tak ada tendensi apapun saat kami melakukannya. Jelas sekali, karena catatan kehidupannya tentang hal ini teramat tebal ia tulis, teramat indah ia lukis. Maka jadinya, teramat tebal pula catatan itu terekam dalam memori orang-orang sekitarnya, teramat indah catatan itu tersimpan dalam hati tetangga-tetangganya. Hingga tersuarakan. Atau mungkin juga tidak. Hanya hidup dalam kenangan individu di sekitarnya. Tapi meski begitu, itu sudah lebih dari cukup sebagai kesaksian : bahwa ia adalah seorang manusia baik.

Kini, tinggal kitalah yang menentukan. Catatan kehidupan itu belum tertutup. Lembar-lembar kehidupan itu juga masih tersisa. Dan tentu saja, karet penghapus untuk memperbaiki catatan yang telah lalu itupun juga masih di tangan. Masih ada waktu. Masih ada kesempatan untuk menentukan catatan yang mana yang bakal kita perbanyak, kita ulang-ulang, atau kita pertegas adanya. Bukan hanya agar catatan-catatan itu hidup dalam sanubari orang-orang sekitar kita -- seperti yang saya ungkapkan di atas, bukan pula semata agar orang lain menyaksikan kita sebagai orang baik. Sungguh, itu akan menjadi tak penting dan hanya akan menjadi nilai estetika kehidupan belaka. Tapi oleh sebab kita telah meyakini akan adanya pembacaan catatan kehidupan yang jauh lebih fair, lebih adil. Untuk menentukan masuk golongan manakah kita : golongan orang berimankah, atau golongan yang ingkarkah. Dan konsekuensi di antara keduanya, sungguh amat berbeda..

Bahkan sesudah kabar kematian dari bapak tetangga ini, beberapa hari kemudian saya mendengar kabar serupa dari teman sekantor bapak. Masih tidak percayakah kita bahwa kematian itu keberadaannya sangat dekat, dan siapapun tidak bisa menebaknya.

Cerita Tentangmu

Aku berjanji padamu untuk menuliskan sebuah catatan tentangmu.

"Di mata arik , aku orang yang kayak mana?"

27 jam yang lalu..
Aku baru saja mengubah setting profile ponsel dari silent ke normal ketika mesin komunikasi mungil itu berdering. Dering sms tepatnya. Ah, sms kadang datang tanpa diduga. iya, itu dari kamu... Rasanya sudah lama kita tidak saling berkirim pesan, terakhir kali kita saling mengomentari status di sosial media. dan aku hampir lupa kapan terakhir kali kita bertemu. Saat kita terjebak di halaman parkir kampus karena bapak penjaga parkir sedang solat jumat itukah? setelah saat kita saling berbagi cerita, menanyakan kabar satu sama lain itu?

isi pesan singkat itu, benar benar singkat, "Arrrik" hanya itu

rasanya nggak enak, kalau sebenarnya kita ingin membalas suatu pesan, tetapi pulsa di dalam hape tidak mendukung. Dibalas satu kali takutnya nanti 'moler-moler' panjang, dan takutnya kalau di tengah jalan saat saling berkirim pesan, aku yang tiba-tiba tidak membalas pesan. Alasannya cuma satu, = nggak ada pulsa sayang... maaf :(

saat itu sebenarnya aku cuma pengen bilang... "tunggu" aku pasti akan merespon pesan singkatmu. Sms memang mendekatkan yang jauh, tapi kalau hape nggak ada pulsanya, rasanya sisksaan. So sorry :')

Lalu aku berjanji akan segera membalas pesanmu :)
soon

Kembali lagi, "Di mata arik , aku orang yang kayak mana?"
cuma kamu yang ketika aku mengendap-endap dari balik punggungmu dan menutup matamu menggunakan kedua tanganku... dan aku diam saja, menunggu kamu menebak siapa yang menutup matamu, dan kamu dapat menebak bahwa itu aku, ya cuma kamu... yah, meski kadang dengan beberapa kali menyebut nama yang salah...hhhee...

Eh kamu itu perempuan yang bahagia. Mungkin orang lain menyebutmu ceria. Tapi bagiku kamu itu perempuan yang bahagia dan membahagiakan. Ah senangnya aku dipertemukan denganmu. Eh, aku nangis nulis ginian. Bagiku, bahagia itu adalah jika apa yang kita pikirkan, apa yang kita katakan, dan apa yang kita lakukan berada dalam keharmonisan. efek bahagia ya ceria, senyum, ramah sama semua orang. Ah iya, itu kamu deh.. kamu itu keren...

Keren karena kamu perempuan tegar. Kamu nangis kan? udah, gapapa gapapa.. *pukpuk.. Tegar itu bukan berarti nggak nangis loh... kalau sekarang aku bisa meluk kamu, aku pasti udah meluk kamu.. Allah sayang banget sama kamu yas, tenan... cerius ini.. Aku pengen deh, nanti kalo aku mbaca salah satu tulisanmu, ada cerita tentang aku nya, meskipun diselip-selipin dikit aku relaaa :) *maksa...

Kamu itu perhatian sama orang-orang disekitarmu. Buktinya, kamu bikin semacam gerakan sosial buat anak-anak yang kurang mampu biar bisa dapet pendidikan... ya kan? Ibaratnya, kadang kita memang nggak suka pelajaran tertentu, tetapi memperhatikan bukan soal suka atau nggak suka. Memperhatikan - perhatian adalah soal menghargai. Orang yang kamu tolong bukan berarti orang yang bener-bener membutuhkan pertolongan, tetapi kamu nolong ya karena kamu baik, itu saja.

Oh iya, aku hampir lupa... nyadar nggak kalo suatu ketika kita lagi ngobrol banyaaaaak banget, entah cuma kita berdua atau ada orang lain diantara kita, terus tiba-tiba aku diem. Diem aja,nganeh-anehi dhewe. Kenapa coba? hayooo... itu karena aku cemburu. Cemburu karena kamu begitu dekat denganNya. Cemburu, karena pengetahuanku segala tentangNya nggak sebanyak dengan pengetahuanmu tentangNya. dan kamu begitu intensif melakukan pendekatan denganNya. Oleh sebab itu, aku yakin bener kalo Allah bener-bener sayang sama kamu. ciyuusss iki. Kamu salah satu, perempuan yang bisa jadi teladan... Tulisanmu, semangatmu, ceriamu, kedekatanmu denganNya, itu bikin aku terpacu.. you know me so well lah :'D

Disetiap selesai solatku, selalu kuselipkan namamu, supaya Allah segera mengirim seseorang yang bisa setiap waktu mengantarmu kemanapun kamu pergi, kemanapun tujuanmu. Supaya kamu nggak sendiri, supaya kemana-mana kamu naik motor ada yang mboncengin, nggak sendirian, dan nggak jatuh... Idih, kamu nggak sakit apa... kalo aku mah udah nangis.. Tapi kamu beda, meski kata banyak orang itu susah, tapi yang penting buatmu adalah pantang menyerah.

Rasanya nggak butuh waktu lama buat kita saling mengenal satu sama lain. 4 tahun yang lalu, mungkin kita tidak saling mengenal. Tapi sekarang, aku yakin kalo aku ditanya, "Kenal Laras?", akan kujawab, "ah iya, diaaa.." dan aku akan bercerita panjang lebar..

pengen nyanyi ini,

Satu alasan kenapa kau kurekam dalam memori
satu cerita teringat di dalam hati
karena kau berharga dalam hidupku, Teman

[play] - Bondan Prakoso and Fade To Black


Hei perempuan kuat, aku pengen meluk kamu deh :-*
*pipipipipipip


semoga cukup menjawab kegalisahanmu yas...
Lalu di mata kamu, aku orang yang kayak mana?
@Larasati Rahardjo

Perempuan Yang Berdoa

Doa yang baik tak pernah berpusat pada kepentingan dirimu sendiri.
Doa yang baik selalu tersebar bagi kepentingan orang-orang di sekeliling dirimu, orang lain, seluruh semesta.
Berdoa-lah untuk kebahagiaan dan kebaikan orang lain,
maka semesta akan bekerja dengan sendirinya untuk kebaikan dan kebahagiaanmu.

Coba taruhan denganku,
siapa yang tak bosan melulu mendengarkan permintaan-permintaan yang semua selalu tentang dirimu, kepentinganmu, dan kebahagiaanmu?
Maka lupakanlah kepentinganmu,
leburkan ia dengan kepentingan banyak orang di sekeliling dirimu,
begitulah seharusnya caramu merayu Tuhanmu.

Pagi Hari di Fauna's Boulevard*

Bukti bahwa cinta seorang ayah mampu memupuskan dinginnya kabut tebal di musim dingin, itu memang benar adanya. Percaya atau tidak, efek cinta secara tidak langsung mentimulus dari apa yang dilihat hingga merasuk ke dalam hati... hangat.

Pagi 8 Februari 2013, saat perjalanan menuju tempat kerja tersentak oleh kejadian luar biasa yang tak biasa. Dulu, aku sempat mengira bahwa adegan-adegan romantis, mengharukan tentang kemiskinan, tentang cinta seorang ayah hanya ada di dalam film. Tapi, pagi ini ayam berkokok pun pasti akan percaya bahwa adegan sinetron pun pasti akan kalah romantis dengan kejadian pagi ini.

Hanya berjarak beberapa meter sebelum sampai ditempat kerja, aku sempat memelankan laju sepeda motorku dan berhenti sebentar untuk menerima telepon. Setelah selesai menelpon, dan hendak menghidupkan motorku yang kutepikan dari jalan, ada seorang bapak bertopi petani menutupi rambut putihnya melewati motorku, namun badannya masih tampak tegar dibandingkan (mungkin) dengan bapak seumurnya. Bapak itu menarik sebuah gerobak, yang awalnya kukira sedang membawa barang dagangan. Setelah berjarak cukup jauh dari motorku, aku baru sadar bahwa yang ada di dalam gerobak itu adalah seorang anak kecil perempuan mengenakan selimut dan sedang bermain dengan boneka lusuhnya. Di dalam gerobak itu kulihat selain ada anak itu, juga ada barang-barang yang lain. Bapak itu berhenti. Mengambilkan boneka sang anak yang sempat terjatuh di pinggir jalan dan membenarkan letak selimut anak itu.

Apa yang kulakukan saat itu? tak pernah sekalipun aku menahan nafasku selama itu seumur hidupku. Hatiku bergetar. Dan kelihatannya aku akan jadi anak yang biasa disebut cengeng pada detik itu. Diam sebentar dan mengamati. Tak ada prasangka buruk sedikitpun untuk bapak itu. Bapak itu menarik gerobaknya kembali, dan semakin menjauhiku. Menyesal, karena aku tak sempat melakukan apapun. Namun dari balik punggung bapak itu, aku berdoa, semoga rejekimu hari ini lancar Pak,. semoga bapak selalu diberi kesehatan.

Semoga anak perempuan yang ada di balik punggungmu, akan tumbuh menjadi anak yang membanggakan seperti yang bapak harapkan.


*imagine

Candu

Taukah kamu sayang? Aku sering sedih..
Aku sering menangis di malam hari. Karena apa,jika kamu ingin tau? Aku sering ingat tentang perhatian perhatian orang-orang disekitarmu akan keadaanmu,. Aku sering ingat tentang harapan harapan orang di sekitarmu terhadapmu. Aku sering ingat tentang mimpi mimpi orang-orang disekitarmu yg terbangun karena rasa optimisnya terhadapmu. Dan kemudian...aku tiba-tiba bersedih ketika ternyata aku kecanduan melihat beranda sosial mediamu. Linglung, rasanya aku tak pernah ingin untuk berburuk sangka..berspekulasi akhirnya,karena kamu tak pernah menjelaskan meski kutanya. Ya,aku bersedih. Dan aku selalu ingin tau,meski membuatku bersedih... Aku bersedih, penyebabnya karena aku kecanduan.