Bukan hal mengagetkan sebenarnya, bukan hal yang luar biasa memang, tapi entah mengapa, tiap kali itu tersampaikan, akan selalu sukses menimbulkan perasaan yang berbeda dalam diri. Kadang menggelora, kerap pula menyayat, atau mungkin sekedar menimbulkan perenungan dalam. Tergantung kronologisnya, tergantung pula individunya, bahkan juga tergantung timing-nya.
Cerita kematian. Ya, sadar ataupun tidak, informasi inilah yang lumayan kerap mengetuk-ngetuk gendang telinga saya tiap kali pulang. Lebih kerap hidup di kota orang dan lumayan jauh dari kampung halaman, mau tak mau akan membatasi akses saya terhadap informasi yang terjadi di kampung halaman. Info-info penting saja mungkin yang lumayan ter-update. Lewat SMS, atau lewat telepon genggam. Semacam dinamika keluarga, ataupun segala yang terjadi di tetangga-tetangga dekat, atau yang terjadi dengan teman atau sanak saudara dari orang tua. Dan cerita kematian ini, adalah catatan penting yang kerap terlewatkan untuk tersampaikan.
Lalu pada akhirnya kemarin, saat saya pertama kali menikmati momen pulang kampung setelah beberapa minggu tidak pulang, informasi itu datang lagi. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya info itu sudah datang dari ibu saya lewat perbincangan di telepon. Tapi hanya pemberitahuan, tak begitu lengkap. Tak datang dari sumber yang paling dekat.
Orang itu adalah tetangga saya. Lumayan jauh sebenarnya bagi kaca mata orang kota. Tapi, berhubung saya tinggal di pedesaan dimana kita saling mengenal satu sama lain, bahkan sampai satu desa, maka jarak segitu adalah jarak yang teramat dekat. Orangnya sudah tua, mungkin seumuran pakdhe (lebih tua dari seorang ayah). Beliau sering kali membantu menyelenggarakan pengajian setiap sebulan sekali di rumah. Bahkan ketika, kakak lelaki saya menikah, Beliau termasuk yang mempersiapkan tenda, kursi, dan perangkat sound system lainnya. Beliau akan selalu muncul untuk turun tangan membantu siapapun jika di desa kami ada salah satu yang sedang punya gawe.
Tapi kematian akan selalu menjadi nasehat terbaik. Selalu, bagi siapa saja yang mau mengambil pelajaran. Entahlah, saat itu, ketika saya tengah kumpul dengan bapak - ibu, perbincangan itu dimulai. Awal mulanya hanya ingin menyampaikan berita kematian tetangga saya itu. Saya jawab sudah tahu. Kemudian melebar. Ganti membicarakan sang almarhum. Tentang aktivitasnya, tentang semasa hidupnya. Awalnya saya hanya sekadar mendengarkan, namun kemudian terpancing untuk bertanya.
Tidak penting apa yang saya tanyakan, namun cerita itu, tentang sepenggal kisah tetangga saya itu menjalani kehidupannya, tiba-tiba menyadarkan saya. Kelak, ketika kita tak mampu lagi mengadakan konferensi pers untuk mengklarifikasi opini yang terlontar mengenai kita, ketika kita tak akan bisa lagi membantah celaan yang menerpa kita, atau saat kita tak akan sanggup lagi berbangga hati kala seseorang memuji kita... saat maut itu telah sempurna menjemput... saat itulah... apa yang sudah kita lakukan semasa hiduplah yang bakal tersuarakan. Mungkin jelek, mungkin bagus. Tergantung dengan catatan kehidupan yang telah kita torehkan sepanjang periode hidup. Catatan yang mungkin teramat dalam membekas pada diri tetangga-tetangga kita, keluarga kita, teman-teman kita, atau pada lingkungan kita....pada alam. Tak mampu lagi kita untuk membantahnya, pun juga tak kuasa lagi kita untuk menambah-nambahi. Sebab, apa yang telah kita tulis semasa hiduplah yang bakal terbaca. Bila itu adalah sebuah keburukan, maka terlambat sudah untuk menghapusnya, lalu menulisinya dengan tulisan-tulisan kebaikan. Pun juga, bila itu adalah kebaikan-kebaikan, maka tak ada waktu lagi untuk menstabilonya, menggarisbawahi, atau sekadar mempertegas tampilannya.
Maka, jika saat itu tiba-tiba kami membicarakan tentang begitu ringan tangannya bapak itu pada sodara paling dekatnya sekalipun, (pada tetangga-tetangganya). Tak ada tendensi apapun saat kami melakukannya. Jelas sekali, karena catatan kehidupannya tentang hal ini teramat tebal ia tulis, teramat indah ia lukis. Maka jadinya, teramat tebal pula catatan itu terekam dalam memori orang-orang sekitarnya, teramat indah catatan itu tersimpan dalam hati tetangga-tetangganya. Hingga tersuarakan. Atau mungkin juga tidak. Hanya hidup dalam kenangan individu di sekitarnya. Tapi meski begitu, itu sudah lebih dari cukup sebagai kesaksian : bahwa ia adalah seorang manusia baik.
Kini, tinggal kitalah yang menentukan. Catatan kehidupan itu belum tertutup. Lembar-lembar kehidupan itu juga masih tersisa. Dan tentu saja, karet penghapus untuk memperbaiki catatan yang telah lalu itupun juga masih di tangan. Masih ada waktu. Masih ada kesempatan untuk menentukan catatan yang mana yang bakal kita perbanyak, kita ulang-ulang, atau kita pertegas adanya. Bukan hanya agar catatan-catatan itu hidup dalam sanubari orang-orang sekitar kita -- seperti yang saya ungkapkan di atas, bukan pula semata agar orang lain menyaksikan kita sebagai orang baik. Sungguh, itu akan menjadi tak penting dan hanya akan menjadi nilai estetika kehidupan belaka. Tapi oleh sebab kita telah meyakini akan adanya pembacaan catatan kehidupan yang jauh lebih fair, lebih adil. Untuk menentukan masuk golongan manakah kita : golongan orang berimankah, atau golongan yang ingkarkah. Dan konsekuensi di antara keduanya, sungguh amat berbeda..
Bahkan sesudah kabar kematian dari bapak tetangga ini, beberapa hari kemudian saya mendengar kabar serupa dari teman sekantor bapak. Masih tidak percayakah kita bahwa kematian itu keberadaannya sangat dekat, dan siapapun tidak bisa menebaknya.
0 komentar:
Posting Komentar