Jika Bukan Cinta

Oleh: Dyah Dhani Mustikarini

Aku masih termenung menatap langit-langit kamar sore ini. Memandang kagum sarang laba-laba yang entah sejak kapan mulai menghiasinya. Sudah dua puluh tahun aku tak mengunjungi tempat ini. Tempat masa kecil yang penuh dengan tekanan.
Aku mulai berjalan perlahan mendekati setumpuk kertas warna-warni yang masih tertempel di meja. Aku menghampiri tumpukan itu dengan hati-hati. Mencurinya lalu pergi ke luar rumah, membacanya dalam terik menyengat Sang Mentari. Inilah kalimat yang pertama aku baca,
“Aku harus jadi yang pertama, dimanapun dan kapanpun.”
Senyumku pun mengembang, kemudian tertawa dalam hening,
“Kau tak tahu bagaimana rasanya ketika dunia bukan lagi ilmu, Kecil…”
Dengan kejam aku merobek kertas kenangan itu dan membiarkannya berserakan.
Aku tak berniat membaca sisa kertas di dalam tumpukan itu, karena itu hanyalah rumus-rumus yang sengaja aku tulis sebagai pengingat. Karena dulu, aku hampir tak terkalahkan dalam semua kompetisi, aku berhasil mendapatkan peringkat pertama selama enam tahun berturut-turut di sekolah favorit. Aku juga sudah mendapatkan medali emas Internasional dalam olimpiade ilmu pengetahuan alam tingkat sekolah dasar.
Prestasi itu selalu berhasil aku raih sampai aku mulai memasuki sekolah menengah pertama. Aku masih tidak dapat berpaling dari ilmu, bagiku Allah seakan menciptakan waktu agar aku dapat mengejar ilmu, tanpa peduli apapun. Namun ternyata, Allah masih punya rencana yang lebih indah untukku, ketika aku duduk di bangku kelas dua, aku mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah event internasional dengan salah seorang teman sekelasku. Awal perkenalan kami berjalan singkat. Dia adalah seorang wanita yang cerdas. Sosok yang patut dibanggakan karena prestasinya. Kami ditugaskan untuk menjadi satu tim dalam ajang internasional tersebut. Tiga bulan lamanya kami mengulas buku berisikan rumus-rumus mengerikan yang hampir setiap malam menghantui. Di samping itu, ada perasaan yang belum pernah aku rasakan saat duduk sebangku dengannya. Belum pernah aku mengabaikan kertas soal demi memandang wajah manis yang berada di sampingku.
“Andaikan Einstein menemukan teori relativitas setelah menemukan besarnya konstanta untuk perasaanku”, aku pun secara tak sadar menggelengkan kepala dan menatapnya.
“Ya Allah, apa ternyata waktu yang Engkau ciptakan ini untuk mengagumi seorang hawa?”
Berkali-kali aku bertanya pada-Nya, namun belum juga aku mendapatkan jawaban. Hal ini semakin membuatku kehabisan akal. Aku mendekatinya perlahan, mencuri segala informasi tentangnya melalui data siswa di ruang administrasi sekolah. Memberinya bunga diam-diam dan akhirnya aku mulai mengetahui bahwa aku sedang terserang penyakit. Aku mulai malas dan benar-benar mengabaikan soal-saol yang harus aku persiapkan. Di otakku saat itu hanya ada namanya, sehingga aku mengambil kertas merah muda dan menuliskan harapanku,
“Aku harus membuatnya bahagia…”
Aku baru sadar setelah timku gagal di Yunani saat itu, kami tidak dapat menyelesaikan soal dengan cepat seperti biasanya. Aku tak dapat berhitung dengan lancar, seolah ada yang sengaja menyumbat otakku.
Aku hanya dapat tersungkur di ruang tunggu bandara, dia mendekatiku sambil tersenyum manis dan berkata,
“Apa kamu baik-baik saja? Aku tahu, itu memang kesalahanmu. Jadi sebaiknya kamu mencobanya lagi pada kompetisi tahun depan. Tapi ingat, aku tidak akan pernah mau menjadi teman satu tim dengan pembuat onar sepertimu untuk yang kedua kali…”
Dia pergi, melambaikan tangan dan berkumpul dengan tim Indonesia yang lain. Aku mengutuk diriku sediri saat itu. Merasa tak berguna di hadapan siapa pun termasuk Allah. Aku telah merubah penampilanku hingga aku tak lagi dibilang cupu, aku mulai belajar menerka hati yang saat itu sedang bergejolak. Tapi apa balasan darinya? Dari wanita yang serta merta berusaha aku buat bahagia.
“Itu hanya masa lalu, sudah dua puluh tahun aku bangkit dan meninggalkannya…,” gumamku lirih.
Aku melempar senyum ke arah cermin di ruang keluarga, tempat dimana aku selalu berlatih berbicara untuk menarik perhatiannya saat itu. Tetapi Allah berkehendak lain, wanita itu sekarang sedang duduk manis di teras rumah tua ini, menunggu suaminya yang sedang bernostalgia.
Aku sadar, aku tak perlu melebihkan cinta yang aku rasa, karena sesungguhnya itu hanya isyarat yang Dia berikan pada kita, agar kita menerima, dan percaya bahwa Dia Maha Berkehendak. Seusai SMP aku memutuskan untuk ikut orang tuaku ke Yogyakarta, aku melanjutkan SMA di sana, memulai hidup baru, Dan mencoba mencari apa arti semua kenangan masa lalu yang Allah berikan untukku.
Sejak saat itu pula aku belajar mencintai ilmu dengan sederhana, karena aku tahu bahwa sepandai apapun aku kelak, Dialah Yang Maha Segalanya. Segagah apa diriku nanti, tetap hanya Dialah Yang Maha Agung. Aku belajar menerima semua cinta yang Dia beri, melepaskan segala sikap angkuhku dan belajar memproses cinta-Nya dengan indah. Dan aku telah membuktikannya, bahwa ketika aku menerima cinta-Nya, Allah tak akan segan memberiku cinta yang aku cari…

0 komentar:

Posting Komentar