Secangkir Teh Hitam

Oleh: Dyah Dhani Mustikarini


“Ada yang tak mencium wanginya”, bisikku pada teh hitam ini. Aku selalu mengaguminya, warna, aroma dan panasnya ketika menyentuh kulitku. Bercanda berdua denganya saja sudah membuatku bahagia. Aku tak pernah memintanya untuk selalu hangat, tapi entah mengapa dia selalu menghangatkan hariku yang terkadang dingin.
Aku mengaguminya, karena dia pahlawanku. Dia tak pernah kesiangan untuk membuatku terbangun. Dan dia tak pernah kepagian untuk membuatku kembali terlelap.
“Bisakah aku menemui manusia sepertimu?” kali ini aku setengah berteriak.
Kadang, aku memandangnya dengan raut sebal. Tapi tahukah kamu? Dia tak pernah protes dan selalu menghadirkan keceriaan untukku.
Hingga aku bertemu dengan warna hitam lain di cangkir pagiku.
“Kopi.”
Walaupun nampak sama dengan teh hitamku. Aromanya berbeda dan dia selalu membuatku terjaga. Aku kesal ketika dia menggusur tempat favorit teh hitamku.
“Mengapa kamu datang kopi?! Saat aku mencintai isi cangkirku sebelum ini. Kamu terlambat untuk membujukku. Kamu terlambat untuk berharap kuhirup. Dan kamu terlambat untuk menyuruhku mencintai makna hitam yang ada padamu…aku…”, gerutuku menuntutnya pergi.
“Satria….” Dan tiba-tiba aku mendengar namaku disebut.
Aku mencoba menoleh dan menemukan manusia yang berhasil memotong gerutuanku pada kopi.
“Kirana, sedang apa kamu di sini? Bukankah kamu tak tertarik untuk menikmati secangkir minuman hangat bersamaku? Kamu kan sibuk dan kadang membuatku tak mengerti mengapa ada wanita sepertimu, datar seperti air putih…”
Dia hanya menggeleng dan meletakkan sketchbook miliknya tepat di samping cangkirku.
“Aku ke sini untuk memastikan bahwa sahabatku tidak gila! Setiap hari merasa jadi dewa sih… hehehe”
Aku mendengus kesal. Tapi memang benar, aku sepertinya terlalu mendewakan diriku. Padahal belum pernah aku membaca ada mitos dewa yang bias bercengkrama dengan teh dan kemudian jatuh cinta padanya.
“Alah… daripada kamu kan? Curhat kok pake tangan? Tuh, buku gambar juga gak bisa apa-apa. Mentok-mentoknya ntar kalau di akhirat kamu bakal dituntut sama sketchbook-mu itu gara-gara tindakan kriminal.”
Kita berdua pun akhirnya terdiam dan terbahak dalam nada yang sama. Dan tak kuduga…
“Eh mas, pesen teh hitam panas ya, gak usah manis-manis!”
“Loh Kir, sejak kapan kamu pesen teh? Perasaan biasanya pesen air putih atau chocolate cake?” tanyaku setengah percaya.
“Ya gak papa kan, Sat? Emang kamu doang yang boleh pesen?”
“Bukan gitu sih, tapi teh hitamnya lagi abis! Gak tau deh ni café rasa-rasanya cuma aku aja yang hobi pesen teh hitam.”
“Dasar! Eh, abis beneran ya emang? Jangan-jangan akal-akalan kamu aja lagi!” tatapnya sinis.
“Ya udah kalau nggak percaya,” jawabku sambil berpaling memandang jendela.
Kita memang selalu begini, setiap bertemu pasti ada saja hal yang diributkan. Biasanya tentang air putih, tapi entahlah kini berubah menjadi teh hitam yang selalu kudambakan.
“Eh, maaf Kak, teh hitamnya sedang kosong…,” nampak raut muka menunggu dari salah seorang pemuda yang sejak tadi berusaha menyela pembicaraan kami.
“Oh iya, kalau begitu air putih saja…,” Kirana pun mengangukkan kepala, tanda tak enak.
Pelayan itupun pergi dan datang kembali dengan membawa segelas air putih yang selalu membuatku menggerutu.
“Terima kasih air putihnya…,” tutur Kirana manis.
Aku sejenak menatap Kirana, mengamati mata di balik kaca mata minusnya. Wajahnya nampak letih, sepertinya dia berjalan kaki untuk menghampiriku di café ini. Sudah dua puluh dua tahun dia menemani hariku. Entah ketika aku butuh atau tidak dia selalu hadir. Padahal aku tidak pernah memintanya untuk sejenak singgah mendengarkan gerutuan dan pujianku terhadap sesuatu. Aku mungkin diciptakan sebagai makhluk pengkritik, dan setahuku hanya dia yang bisa mengerti dan mau mendengar.
“Ah… Kirana…,” bisikku pada secangkir kopi di depanku.
“Eh, ngapain kamu sebut-sebut namaku? Bagus ya, Sat?” cengir Kirana.
“Gak ye… Aku cuma ndak nyangka punya temen se-ajaib kamu,” lalu kami pun terkekeh.
Kata teman-temanku, Kirana itu selalu menebar feromon ketika ia tersenyum. Tapi anehnya, feromon itu tak pernah membuatku terpikat. Aku pikir dia lebih pantas jadi kakakku. Dia lebih tua setahun dariku, tapi kami seangkatan.
Di saat semester akhir seperti ini, kehadirannya sangat membantuku. Dia datang tepat waktu ketika aku butuh merevisi naskah skripsi yang habis-habisan dikritik dosen. Dia memang mahasiswa high class yang membuat kami berdecak kagum. Hampir semua nilau ujiannya A. Ide skripsinya langsung disambut baik oleh dosen pembimbing. Nampak hidupnya begitu lancar.
Sedangkan aku? Aku hanyalah mahasiswa dengan IP pas-pasan. Semester akhir kayak gini malah banyak ngulang mata kuliah yang belum tuntas. Belum lagi skripsi yang butuh ditmbal sana sini. Sejurusan dengannya di fakultas teknik membuatku merasa rendah. Kadang aku bertanya, bukankah dia wanita? Lalu mengapa dia yang mendapatkan hal terbaik?
“Sat, kopimu kan udah gak panas kok cuma dipantengin?” celetuk Kirana, membuyarkan lamunanku.
“Eh, gak papa, Kir, aku cuma pengen kayak kamu…”
“Pengen apa? Lulus cepet ya?” ejeknya berlebihan.
“Hahaha. Iya. Eh, kamu kan cewek to? Kenapa malah suka teknik to? Dan kenapa sih kamu lancar banget belajar di kelas?”
“Aku belajar dari kamu, Sat. Kamu tau gak kenapa kamu sendiri suka teh?” ujarnya yang membuatku bingung.
“Karena teh hitam kesukaanku itu, wangi, hangat dan selalu ada ketika aku butuh Kir.”
“Tepat. Bayangkan kalau kamu itu hidup dalam secangkir penuh teh hitam. Kamu pasti suka, kan? Setiap detik bisa berjumpa dengan sahabat setiamu itu. Ahahaha. Tapi bukan itu. Aku tertarik dengan kebiasaanmu, alasanmu tentang teh hitam yang membuat hari-harimu bahagia, Sat.  Aku banyak belajar dari secangkir teh hangat kebanggaanmu. Aku harus belajar membuat aromaku sama dengan teh hitam itu, agar aku bisa menenangkan dunia di sekelilingku. Dan aku juga berusaha menghangatkan diriku dan suasana teman-temanku, dan tahu gak Sat, aku pengen ada pas kamu butuh aku,” kerlingnya hangat.
“Oh… loh kok aku?”
“Karena kamu sahabatku, kita udah hampir dua puluh tahun bareng. Dan dua puluh tahun pula aku lebih milih  air putih dari pada teh hitam. Karena aku tak mau jadi pesaingmu, Sat..”
Dan kami pun terbahak, berteriak… “Selamat minum...”
Akhirnya, aku pun mengetahui apa rahasia dunia sempit milik sahabatku. Aku ingin menjadi sepertinya tanpa perlu merubah kebiasaanku dengan kopi, walaupun tadi juga terpaksa pesennya. Ahahaha. Entahlah, aku hanya ingin menjadi teh hitam kebanggaanku sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar