... pagiku cerahku, matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak
slamat pagi semua, kunantikan dirimu, di depan kelasmu menantikan kami...
guruku tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku
tak bisa baca tulis mengerti banyak hal,
guruku terimakasihku
nyatanya diriku, kadang buatmu marah,
namun segala maaf kau berikan...
[Lagu-Terimakasih guruku]
kata lagu yang pernah kudengar, masa yang paling indah masanya putih abu-abu.. tapi, bagiku justru saat aku dulu mengenakan rok merah berlipat-lipat. Awal saat aku 'dilepas' oleh orang tuaku untuk bisa menghadapi kehidupan sosialku yang baru, sendirian...
[15 tahun yang lalu] Aku masih ingat betul, untuk pertama kalinya, aku ditanyai oleh guru Bahasa Indonesiaku, bu Ning namanya tentang cita-cita murid-murid di dalam kelas saat itu. Aku juga masih ingat betul, apa yang kujawab untuk pertanyaan itu. "Ibu Rumah Tangga". Aku juga masih ingat betul ekspresi guruku dan teman-teman sekelasku ketika aku berkata "Ibu Rumah tangga".. Aku yang polos atau memang aku berniat memiliki cita-cita itu.. rasanya tidak keduanya... saat umur segitu, aku masih labil untuk menentukan cita-cita sungguhan. Namun seiring berjalannya waktu, aku semakin mengerti, aku semakin paham... Tidak ada yang salah denganku saat itu, tidak ada yang salah dengan profesi itu, tidak ada yang salah. Bisa saja aku menangis saat semua teman-teman menertawaiku. Hanya saja semua perlu pemahaman, 'gantungkan cita-citamu setinggi langit' pepatah yang terlalu sering aku dengar ketika aku berseragam putih merah dulu.. pemahaman yang tepat untuk pepatah itu. Kata-kata bu Ning yang sebetulnya sederhana, kali ini tak bisa ku jabarkan sesederhana saat beliau mengatakanya. Hanya saja baru kali ini, kalimatnya bisa kumaknai dengan pasti bahwa sukses itu sering bukan karena berhasil meraih sesuatu, melainkan berhasil menyelesaikan dan melampaui tantangan dan kesulitan.
Rasanya cerita tentang guru nggak akan ada habisnya. selalu saja ada yang seru, haru, sebel, senang, dan campuran rasa lainnya. Guru is my other soulmate, seangker apapun dia. karenanya, aku nggak mungkin mengenang mereka sebagai tokoh antagonis dalam hidup karena mereka terlalu terhormat untuk disebut demikian. mereka adalah anak-anak tangga bagi diriku yang sekarang =,= dan saat reuni-yang entah kapan itu- aku akan selalu mengikutkan nama mereka dalam ceritaku dengan teman-teman. percayalah, aku pasti menyunggingkan senyum di sela-sela ceritaku itu. See? sekarang pun aku tersenyum (lagi) :)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
cerita tentang guru lagi.
Senin, 20 Februari 2012
seharusnya aku mengajar sore ini. tapi, satu jam sebelum aku berangkat ada pesan singkat yang masuk ke hapeku. Dari "mamanya Rangga", tertulis di hapeku seperti itu. Rangga adalah salah satu murid yang saban hari Senin dan Jumat kutemui. Ia anak baik, di mataku ia sangat religius untuk anak seumurannya.
Sore itu ibunya, meminta kepadaku untuk tidak perlu mengajar karena Rangga sakit.
"yesss.." nggak jadi berangkat.
Gila, baru kali ini ada ya guru yang seneng gara-gara muridnya sakit... yang ada harusnya, murid seneng gara-gara gurunya sakit terus nggak ngajar... ini kebalikannya. saraaappp!
naluriku nggak akan setega itu, untuk tetap membiarkan sms ibu Rangga [kusebut ibu Rangga aja ya] tidak terbalas. Lalu pesan singkat itu kubalas. Lalu ada balasan lagi. Hapeku berdering untuk kedua kalinya. Kubuka, kubaca larik demi larik yang tertulis di layar itu. mungkin hampir tiga layar. memang panjang. Ibu bercerita banyak padaku, tentang Rangga tentunya.
setelah kubaca, ada rasa haru, rasa tersanjung, rasa iba, bercampur menjadi satu... Entah satu kesatuan rasa macam apa itu. bingung, aku harus membalas apa. Bingung karena yang hendak huhadapi adalah orang tua/ wali dari muridku. Akhirnya, aku menulis apa adanya yang terlintas dibenakku.
Beberapa menit kemudian, hapeku berdering lagi. Balasan dari Ibu Rangga rupanya.
Aku menangis membaca balasannya. Haru. Ibu itu terlalu baik. Sangat merasa terhormat, ketika ibu mempercayaiku untuk mendengarkan kegundahan hatinya, berpesan banyak hal kepadaku, dan aku menyanggupinya {insya Allah}, lalu ia mendoakanku. Meski tak pernah sekalipun aku bertatap muka dengannya, aku bisa merasakan bahwa ibu adalah orang baik...
Semua yang sulit, sesungguhnya adalah pelajaran hidup, Buk :)
Ini bukan tentang melakukan hal besar atau hal yang serupa.
Ini hanya hal kecil.. guru = good listener. kadang, kita harus bisa menjadi pendengar yang baik tanpa mempedulikan jarak usia keduanya.
Bagiku, mengajar bukanlah sebuah pengorbanan. ini pilihan dan ini adalah kehormatan. [ciyeeee :D]. Kehormatan untuk melunasi sebuah janji kemerdekaan = mencerdaskan kehidupan bangsa. jadi, nggak perlu khawatir jika ada ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Karena selamanya pahlawan tidak akan butuh pengakuan. Ia memberi tanpa minta diberi. Kelak, jika anak-anak didik dari seorang guru berhasil meraih mimpinya, maka balasan yang setimpal dari Tuhan selalu ada di dalamnya [#menghibur diri]. Pemimpin yang mengabdi.
MENDENGARKAN adalah sikap hati. Seorang pendengar yang baik, bukan mendengarkan karena dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dikatakan. Dia mendengarkan, karena dia berencana untuk berbicara lebih baik setelah mendengar. Itulah sebabnya kita diminta mengerti bahwa berbicara adalah wilayah kepandaian, sedang mendengarkan adalah wilayah kebijakan. Dan jika cara-cara membaca yang baik belum kita dapatkan maka gunakanlah cara termudah untuk belajar yaitu MENDENGARKAN (Mario teguh)... karena letak telinga lebih tinggi daripada letak mulut..
Padamu negeri kami berjanji...
Padamu negeri kami berbakti...
Padamu negeri kami mengabdi...
Bagimu negeri jiwa raga kami...
[Mendidik adalah tugas konstitusional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral tiap orang terdidik-Anies Baswedan]
0 komentar:
Posting Komentar