Wake up!



saat tiba nafas di ujung hela

mata tinggi tak sanggup bicara

mulut terkunci tanpa suara



bila tiba saat berganti dunia, alam yang sangat jauh berbeda

siapkah kita menjawab semua pertanyaan?



bila nafas akhir berhenti sudah

jantung hatipun tak berdaya

hanya menangis tanpa suara



mati tak bisa untuk kau hindari

tak mungkin bisa engkau lari

ajalmu pasti menghampiri

mati tinggal menunggu saat nanti

kemana kita bisa lari?

kita pasti 'kan mengalami mati

[UNGU - Bila Tiba]

Hari ini, jam digitalku berada pada bilangan 23: 39
Sebelum terlelap tidur, biasanya proses menuju tidurku yang sesungguhnya membutuhkan waktu yang agak lama. Jadi, kadang ada beberapa hal yang secara tidak sengaja menjadi kebiasaanku dan rutin aku lakukan yaitu paling tidak berdoa, lalu mendengarkan lagu pengantar tidur, atau sambil mendengarkan beberapa hafalan. Biasanya juga sambil tidak sengaja merenung beberapa hal, kejadian, peristiwa yang tersimpan baik dalam memori. Kadang berpikir daripad saya malam-malam usrek ngganggui orang lain karena nggak bisa tidur, lebih baik saya guling guling sambil tutupan di bawah bantal biar tetep dikira udah tidur. Bahasa kerennya saya sedang merenung, anggap saja begitu. Hingga sampai akhirnya hanya berujung pada tulisan di telepon genggam. Niat menulis justru kadang muncul ketika kamar sudah gelap, dan berniat tidur. Untuk itulah kenapa tulisan-tulisan terlalu sering muncul di hape, ketimbang di monitor laptop atau lembaran kertas kosong.


Terlalu sering aku bermimpi tentang indahnya dunia luar negeri. Tentang cerita-cerita keren yang datangnya justru dari luar batas khatulistiwa. Meski sudah jelas, aku berkoar dimana-mana aku sangat mencintai ibu (pertiwi) ku, tapi tidak dapat aku pungkiri keindahan alam di luar ibu (ku) juga sangat mengiming-imingiku untuk datang kesana. Jelas aku menuliskan dengan tegas, bahwa jika bukan anaknya sendiri yang mencintai, yang berbakti kepada ibunya, lantas siapa lagi? tapi, bukankah tidak ada larangan juga untuk kita saling menghormati, menyayangi, ibu lain? hanya sebatas sebagai rasa bentuk penghargaan terhadap ibu yang lain, sambil menunjukkan (mungkin) ibu kita sendiri lah yang paling hebat diantara ibu-ibu yang lain.


Mungkin akan menyenangkan jika aku sudah sempat naik gunung Merbabu, gunung Semeru, Bromo; berenang di Karimun Jawa, Wakatobi; berkuda di tepi Tanjung Ann; membuat istana pasir di pantai Kuta Lombok; terbang di Puncak, dan mungkin hal-hal keren lainnya. Kalau sempat, mungkin akan tambah menyenangkan jika sempat bersepeda di antara sela-sela taman bunga tulip; bersepeda, berlarian dengan Kincir anginnya yang besar sebagai pagarnya; naik balon udara melewati menara segitiga emas; naik bajaj di pesisir sungai Gangga; membangun istana pasir di dekat sungai Nil; membuat resep-resep minuman es di tengah turunnya salju di depan rumah bergaya Sanggoje; duduk sambil membaca, mengarang cerita di tengah para kongsi merpati yang sedang makan secara bebas di pelataran kastil; hunting poto-poto kanguru yang sedang mengantongi anaknya, hunting poto-poto perempuan berpakaian sari dengan tangannya berlukiskan mehendi dan bindi di keningnya, aaaaah pasti hangat sekaliiii, pasti akan semakin membuatku semakin mencintai ibuku sendiri, Jawa. Memang cithak tidak akan bisa dikalahkan dengan bindi, atau sindoor itu. Hanya saja, aku ingin menemui semua ibu mereka..

Aku belum sempat bertanya pada teman-teman, bagaimana rasanya salju? hambar, manis, asin, atau pait? dingin, tentu. tapi akan jadi hangat kalau dibawa dengan perasaan antusias, bahagia yang sebenarnya. Kalau meminta es teh di warung saja, dikomentari "Minta? kencing aja nggak gratis mbak!", maka untuk kali ini aku boleh bertanya, "Gratis bisa kan ya?" Semakin kesini, bahasa semakin meluas maknanya ya? 'minta' memang bisa saja gratis, tapi bisa juga harus ditukar dengan yang lain. itu cuma masalah keikhlasan.

Ari! Ari! Ari! Bangun! Sudah adzan subuh! Tangi, Rik!
hoaaaah... di sini aku hanya ingin membuktikan, aku sudah bangun!
Aku ingin menegaskan, bahwa 'tangi'ku di sini bukan sekadar 'tangi' hanya dengan membuka mata kemudian hanya kabur dari aktivitas mata terpejam tadi, tapi aras-arasen bangkit dari kasur, itu 'melek' bahasa jawanya, bukan tangi. Bukan itu, 'tangi'ku adalah melek, kemudian bangkit dari tempat tidur dan bergegas shalat shubuh.
Bangun, kemudian cuma ada dua pilihan, kembali tidur atau berlari mengejar mimpimu. Mintalah padaNya! Jangan minta pada mas-mas es teh itu! tidak mungkin Tuhanmu, tidak merespon permintaanmu, tidak mungkin Tuhanmu merespon permintaanmu sama dengan respon mas-mas es teh di warung itu. Yakin!

aaaak... makanya kamu harus bangun ketika adzan subuh sudah berkumandang!
kemana kita bisa akan berlari ketika ajal sudah sampai ke tenggorokan? selain kamu tidak bisa berkoar, berujar apa-apa, bermimpi membumbung kemana-mana, yang terpikirkan hanya memohon ampun. Sebelum semua terlambat, sebelum ajal terlanjur sampai di tenggorakan, maka bijaknya tidak perlu ditunda. Jangan tidur, sebelum kamu solat Rik! Jangan tidur sebelum berdoa Rik!
Fine, aku bangun, berlari, tapi masih sambil bermimpi. aku akan selalu mengingat bahwa kematian ini begitu dekat keberadaannya. Sambil mempersiapkan jawaban atas semua pertanyaan yang akan ditanyakan padaku. Semoga rencana ini tidak berlebihan. Manusia adalah makhluk multitasking, ya kan?
Bismillahirrahmanirrahim.
Laa hawla walaquwata illa billah.

[underestimate]

Kadang aku tak paham benar apa maksud perkataanmu yang sebenarnya lebih lugas dari pernyataan cinta Romeo kepada Juliet.
Kadang justru aku paham semua ujaranmu hingga muncul multitafsir. Kadang aku pura-pura tidak paham. 


Kadang aku pura-pura paham.
Tidak perlu aku menjabarkan mata kuliah pragmatik di sini,toh semuanya pasti paham.
Bahwa aku paham maksud baikmu, tapi aku tidak paham kenapa maksud baikmu tidak dapat kamu kemas dengan baik melalui bahasamu. Ujaranmu. Perkataanmu.
Ahh, kamu lebih tau harusnya. Kamu lebih pandai. Kamu lebih berwawasan. Kamu profesional kan, sedang aku hanya masih akan semi profesional, katamu.
Tapi, sayang.. Bahan becandaanmu yang mengatakan bahwa M. Hum adalah "mung humor" benar-benar tidak lucu.
Maaf, aku tadi belum sempat tertawa. 

Andai kamu tau, bahwa semua itu adalah perjuangan, pengabdian, kerelaan materi+pikiran+tenaga+waktu. Jungkir balikku di kota ini yang kadang membuat aku tidak sadar diri, lupa makan, lupa tidur, lupa pulang, lupa jalan-jalan, lupa main laptop, lupa nonton film, lupa melakukan semua hobiku justru kamu anggap hanya humor..
Seriuslah.. Aku butuh kata-kata darimu yang bisa menghiburku, menyenangkan untuk didengar, membumbungkanku ke langit ketujuh, memberiku semangat supaya aku tidak merasa sia-sia karena telah lupa makan, tidur, dan semua itu tadi.
Boleh ya, aku minta padamu..jangan panggil aku dengan panggilan kesayangan, "painem". Aku hanya takut para wanita yang bernama painem yang sesungguhnya, justru akan tersinggung, kemudian mendemo. Ini mungkin kekhawatiranku yang berlebihan. Maaf.

Sejujurnya, aku sayang padamu..jangan sampai aku membencimu, ok?

[kalut]

Langit mendung tak selamanya hujan. Kadang, ia hanya singgah di atap rumah kita. Agar kita lebih waspada. Biru langit tak selalu menjanjikan tawa di lapangan kita. Kadang, justru teriknya membuat kita saling memukul, setelah bersama memperebutkan sebuah bola.

Beginilah hidup, langit mendung tak selamanya hujan, bukan? Mungkin, ia hanya ingin mengingatkan kita, untuk lebih dewasa.

Tapi, sore ini hujan meski tidak mendung.
Boleh ya saya menangis? Meskipun saya tidak punya cukup alasan yang kuat untuk melakukannya. Hanya saja, saat ini saya sedang butuh.
Boleh ya?

[Diversity] [Unity]

Kau tak bisa memaksaku untuk menyerupaimu, aku pun begitu. Kita memiliki pilihan masing-masing, maka kita pun memiliki keputusan masing-masing. Kau boleh mengajakku, merayuku, atau menggodaku, tetapi kau tak berhak memaksaku. Aku juga begitu. Dan, aku tak (akan) pernah memaksamu untuk menjadi sepertiku. Kau adalah dirimu sendiri. Bagiku diriku sendiri, bagimu dirimu sendiri. Tak ada paksaan dalam menjadi seseorang dengan identitas tertentu, bukan? Tidak haruskan kita memaksa untuk menjadi serupa?

Perbedaan adalah rahmat Tuhan. Perbedaan adalah wajah kesempurnaanNya. "Sesungguhnya, Aku menciptakan kalian dari golongan laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar (kelak) kamu saling mengenal", begitu Tuhanku berseru. Maka, perbedaan adalah modal, untuk saling mengenal, untuk saling memahami. Sebab bila segalanya sudah sama dan serupa, kata "perkenalan" tentu tak akan bermakna apa-apa.

Oleh sebab itu, aku mengajak siapapun...marilah kita saling mengasihi, saling mendoakan kebaikan untuk yang lain.

Bukankah om Dedi pernah bilang kalau pelangi tak kan indah jika hanya satu warna?
Atau kini, mungkin pelangi enggan muncul setelah hujan karena bisa jadi pelangi membaur menjadi biru seluruhnya seperti warna langit?
Ahh, semoga dia tidak segegabah dan se-mutungan itu. Dia masih akan berwarna seperti prasangka kita.

Baiklah, akhirul kalam, aku berpesan, Selamat mencintai!

Selamat Datang di Semesta Ini

Ada rasa bahagia, bercampur haru, bukan sedih, kemudian menyatu dengan rasa khawatir, cemas yang menyelinap di sela-sela rasa bahagia itu. Kemudian semua rasa itu terwujud dengan bulir air yang meluncur dari indra penglihatan, menggenang, kemudian meluncur. Yang jelas aku sedang tidak sedih. Bukan. Aku hanya sedang berharap, sambil menulis, kemudian secara tidak sadar aku mencemaskan sesuatu. Tapi, harapan itu muncul lebih kuat daripapda rasa cemas, dan khawatir.

Aku tak hafal benar bintang-bintang itu, selain rasi bintang yang memang populer yang dipakai para peramal zodiak. Kalau hari Minggu, minggu pertama bulan keenam ini, bintang milik siapa? Yang aku tahu, katanya zodiakku Scorpio. Kata orang, kata tabloid usang remaja, seseorang memang bisa saja terlahir menjadi seorang yang kuat, dan berpeluang menjadi pemimpin yang baik ketika dilahirkan di bawah rasi bintang Scorpio. Terlepas ia perempuan atau laki-laki. Seperti para peramal saja. Toh mereka masih peramal yang meramal segala sesuatu yang belum tentu terjadi. Bisa iya, bisa tidak. Yang jelas, mereka juga sama-sama sedang berharap. Tapi, kau tidak perlu memercayainya. Zodiak tak akan membawamu kemana-mana, zodiak tak menentukan kehidupan siapapun. Zodiak tak memberimu apa-apa. Kitalah yang menentukan hidup kita sendiri. Tergantung doa kita, tergantung usaha kita. Ikhtiar yang jelas.

Hai Kakak, selamat datang di dunia ini. Selamat menjalani kehidupanmu di semesta yang baru, yang tentu saja akan berbeda dengan semesta di alam rahim ibumu. Di sini kamu akan tetap berkembang, bedanya di sini kamu perlu tertawa, perlu menangis, perlu percaya, perlu bermimpi, kemudian perlu bangun. Jadilah anak yang soleh, harapan orang-orang baik dan mulia yang ada di sekitarmu. Orang-orang yang menunggu, menyambut kelahiranmu, kedatanganmu di semesta ini. Jika kelak kamu tumbuh dewasa, dan ada banyak hal yang ingin kamu tanyakan, tanyakan pada ibumu, mungkin jawaban paling bijak ada padanya. Jika belum jua kamu temukan darinya, tanyakan pada bapakmu, jika belum jua kamu temukan, tanyakanlah pada kakek nenekmu, jika belum jua kamu temukan tanyakan pada tantemu. Tantemu tidak berjanji bisa memberikan jawaban seperti apa yang kamu inginkan. Tetapi, orang-orang yang telah mencoba menjawab pertanyaanmu itu hanya tau bahwa kebenaran sejati itu adalah milikNYA, cari jawabanmu dengan caramu sendiri. Mungkin saja, jawaban itu akan kamu temukan seiring kamu tumbuh dewasa. Kamulah yang menentukan hidupmu sendiri, tentu tanpa bersikap acuh dengan pendapat dan masukan dari orang-orang yang peduki padamu. Dengarkan, pertimbangkan, kemudian baru kamu berhak tentukan hidupmu sendiri! Selamat menjalani kehidupanmu di dunia ini. Menangislah jika kamu merasa kesakitan, tapi jangan lupa tertawa, karena itu akan membahagiakan orang-orang yang sedang mengantri menggendongmu.

[9 Juni 2013]

Apa Kabar Sekarang?

Lama sekali aku tak menulis surat untukmu.
Tak seperti dulu.
Dulu, hampir setiap malam aku menulis surat untukmu, menceritakan banyak hal, atau sekadar menyapamu. Kadang-kadang iseng saja. Mungkin kau anggap kurang kerjaan.

Apa kabar sekarang?
Ah, basi ya? Biarlah, aku hanya ingin mengulang kembali kebiasaan lamaku, sekadar mengalirkan metafor basa-basi menyapamu, seperti juga orang-orang yang selalu menanyakan kabar setiap kali berjumpa meski tak pernah benar-benar ingin mengetahui kabar sesungguhnya. Di situ, status apa kabar hanyalah formalitas, rutinitas tanpa alasan yang jelas, dan tentu saja, basa-basi, bukan? Tapi, kali ini agak lain, sebab aku benar-benar ingin mengetahui kabarmu.
Semoga kau tak hanya membalas satu kata seperti biasa. Tak butuhkah kau juga menanyakan kabarku?

Aku rindu. Jujur saja.

...Ana Udan Salah Mangsa...

Apakah hujan masih melemparkan sejuta pesona bagimu sehingga kau harus keluar rumah membuka pintu, menawarkan telapak tanganmu? Bagiku, tentu. 

Apa yang kau cari dari balik hujan? Matahari tak pernah bersembunyi saat hujan turun siang hari. Mungkin, matahari hanya sedang luruh dalam seluruh tawa kita ketika kau lempar sebuah cerita.
Dari sanalah, kulihat diam-diam matahari terbit bersama bias pelangi.

Aku mulai tidak peduli pada perjanjianku dengan hujan. Ia pernah berjanji hanya akan turun pada bulan Januari. Aku tidak peduli, karena bukankah setiap kali hujan, kamu akan tersenyum? Yang terpenting, meskipun kamu terlalu mencintai hujan, jangan sampai lupa jalan pulang.

[fiktif] Aku Memilih Setia

...ada banyak cara Tuhan menghadirkan cinta, mungkin engkau adalah salah satunya.
Namun engkau datang di saat yang tidak tepat. Cintaku telah dimiliki...
Inilah akhirnya harus kuakhiri, sebelum cintamu semakin dalam.
Maafkan diriku memilih setia, walaupun kutahu cintamu lebih besar darinya..

Maafkanlah diriku tak bisa bersamamu, walau besar dan tulusnya rasa cintamu..
Ku tak mungkin membagi cinta tulusmu, karena ku memilih setia..

Seribu kali logikaku untuk menolak, tapi ku tak bisa bohongi hati kecilku.
Bila saja diriku ini masih sendiri, pasti ku kan memilihmu..
[Aku Memilih Setia - Fatin Shidqia Lubis]


...aku benar-benar merasa kehilangan sesuatu, seseorang lebih tepatnya.. Meski separuh perjalanan hidupku bersamanya, kami tidaklah bisa disebut saling memiliki, memang bukan semacam status seperti yang dibenak orang lain. Kami tanpa status, yang aku tahu bahwa kami saling menyukai, saling memberi perhatian, tapi tanpa deklarasi. Sampai pada akhirnya, salah satu diantara kami memutuskan untuk menyudahi ketidakjelasan hubungan kami, tentu saja bukan aku. Dia. Bukan mengikat, tapi dia justru memilih untuk pergi tanpa memberi penjelasan. Easy come easy go, itu kamu. Datang dengan mudah, pergi tanpa penjelasan. Aku kehilangan, meski tidak ada yang bilang kalau kami saling memiliki. Tak pernah sekalipun aku berpikir untuk mengirimi ia pesan singkat, karena aku mulai terbiasa dengan dikirimi pesan terlebih dahulu olehnya. Aku kehilangan, tapi aku tak berpikir untuk mencarinya. Jika ia memilih pergi, ya sudah. Bukan berarti aku tidak berniat memperjuangkan apa yang selama ini kami alami bersama, tapi aku lebih berpikir bahwa justru inilah jawaban yang sesungguhnya menjadi pertanyaanku selama aku bersamanya. Aku akui bahwa aku kehilangan, sangat kehilangan, lalu aku mulai rindu, tapi aku tidak tau akan berkata apa jika akhirnya aku bertemu dengannya lagi. Juga, tidak ada lagi yang perlu kudengarkan, karena memang tidak perlu ada kelanjutan. Ini jelas bukan tentang siapa yang mengakhiri, sebab kita juga belum memulai.


Laki-laki yang mencintaiku, sedang ada di sini, di sampingku kini. Menyaksikan aku menuliskan semua kisah yang pernah kami alami bersama. Dia menungguku, menyaksikanku untuk menulis, mencoba jujur pada dunia ini, dunia yang sempat aku bohongi tentang perasaanku. Merangkai sebuah kisah baru yang lebih menyenangkan untuk bisa dibaca kembali, bersama-sama nanti. 2 tahun kami menjalin ikatan, dan selama itu pula aku membangun kenangan-kenangan di kota kecil ini bersamanya. Mungkin bagi orang lain, belum bisa dibilang lama, tapi kami bersyukur, karena selama itu pula simpul-simpul dalam ikatan kami, bisa kami urai dan kami kembali berjalan beriringan lagi. Aku bahagia, dan anggap saja kami juga bahagia. Meski kadang karakternya yang cool namun cenderung acuh (menurutku) sering kelewatan, tak pernah aku berpikir untuk mengakhiri ikatan ini dengannya. Aku tidak bisa marah padanya, jika aku marah padanya, dia selalu punya caranya sendiri hingga aku lupa dengan marahku. Aku tau, dia itu gengsinya gedhe, namun rasa cintanya padaku sangat besar. Seiring berjalannya waktu yang aku lewati bersamanya, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang kemudian kami saling memberi perhatian. Ya, laki-laki ini adalah laki-laki yang sekarang memilih mundur, membiarkanku bersama dengan laki-laki 2tahunku.

Memang kehadiran laki-laki itu di antara kami berdua, tidak membuat sikapku padanya berubah..mungkin, karena dia tidak tau. Aku tetap selalu hangat, selalu perhatian, tapi sebenarnya sedikit demi sedikit aku mulai banyak menuntut. Yah, mungkin karena aku menginginkan supaya dia seperti dia yang lain, yang wujud cintanya padaku lebih bisa kurasakan, yang cintanya padaku kuanggap justru lebih sempurna dibandingkan dengan cinta 2 tahunnya. Secara tidak sadar mungkin aku akan membandingkan segala sesuatu yang dia miliki, apa yang pernah dia berikan padaku selama 2 tahun dengan segala hal yang ia lakukan beberapa bulan terakhir untukku tanpa pernah kuceritakan padanya kenapa alasannya.
Yang aku ceritakan padanya hanya sebatas bahwa ada seorang laki-laki baru, yang kuanggap teman dekat karena dia baik. Toh, kami memang bukan siapa-siapa untuk siapa. Toh, juga tidak selayaknya waktu 2 tahun harus dibandingkan dengan hitungan bulan.

Mungkin dia bosan, atau apa. Dia merelakanku berbahagia dengan laki-laki 2tahunku. Kini, aku akan rela dia meninggalkanku begitu saja, jika aku tau kalau dia juga bahagia dengan perempuan lain. Kalau aku bisa tanpamu, kamu juga harus bisa tanpaku. Kalau aku bisa beriringan dan bahagia dengan laki-laki lain, kamu juga harus bisa beriringan dan bahagia dengan perempuan lain. Aku melupakanmu, kamu juga melupakanku. Itu baru adil. Berbahagialah, maka aku juga akan bahagia.
Aku memilih setia dengan laki-lakiku, itu jawaban dari Tuhan. Dan kamu pergi, itu bagus untukku dan untukmu, untuk laki-lakiku juga. Aku menyesal untuk membiarkanmu mengganggu perasaanku yang seharusnya tidak boleh kamu tempati.
Pada akhirnya, kita memang tidak bersama-sama dalam jalan ini, tidak berjalan seiringan, tapi semoga kita sedang saling mendoakan. Kita bisa memilih bahagia, tentu dengan cara kita masing-masing, juga tentu tanpa perlu menyakiti satu sama lain.

Maaf laki-lakiku, aku yang pernah sempat memiliki cinta terpendam selain darimu dalam hatiku ketika aku bersamamu, dan kamu kini dengan berbesar hati memaafkanku, dan menerimaku kembali. Dan justru kamu berjanji, tak kan membiarkanku juga merasakan sakit seperti ketika kau kuduakan. Kamu lebih dari sempurna.

Hai, aku tunggu kamu untuk bertemu denganku lagi, entah kapan itu. Jika kamu bertemu denganku lagi, maka jadilah kita untuk saling memberikan senyum sapa pertanda bahwa kita bahagia dengan jalan kita masing-masing. Jangan lupa, bahwa aku orang baik, yang juga pantas mendapatkan yang baik. Kamu juga orang yang baik, yang juga pantas mendapatkan yang baik.

"Life can be so funny, anyway..you miss someone so much, but you have nothing to say.."

[fiktif]
@nomention

If

..if a picture paints a thousand words, then why i can't paint you..
Jika saja waktu itu bukan melulu soal masa depan dan masa lalu..
Jika saja waktu adalah soal bilangan jam digital atau analog, maka akan mudah bagi siapa saja memutar cuplikan-cuplikan tertentu dalam hidupnya untuk dapat ia putar kembali, mengulangi momen, memperbaiki, atau hanya sekadar mengenang kembali..
ah ya, aku curhat..

Eh apa kabarmu di sana?
Selalu saja aku tak pernah sampai hati untuk sekadar menanyakan kabarmu.
mmm...aku sampai lupa kegemaran memotoku akhir-akhir ini.. Katanya, foto dapat bercerita banyak hal.. Dan kini aku tau betapa sulitnya aku memutar kembali memoriku tentangmu tanpa gambar..

*karena mungkin aku sudah lupa.. Aku lupa cara bicaramu, aku lupa gesturmu, aku lupa potongan rambutmu, aku lupa caramu menyapaku pertama kali, aku lupa kamu.

Baik - baiklah..
Bahagialah..

@nomention