Mang Soleh dan Mang Udin

[repost dari sebuah fanspage]

Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya dan jika hari sudah mulai terik, mang Udin mangkal di trotoar belakang sebuah kampus. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nih?” kata mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”

Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nih. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.

“Apa kabar mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa kok penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.

Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.

Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.

“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.

“Tidak.”

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“OK deh, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimis bahwa hidup akan lebih baik.
Selesai shalat, keduanya berpisah melanjutkan mencari rezeki di tempat terpisah sembari berjalan menuju rumah masing-masing.

***

Nampaknya kita perlu, mengupgrade keyakinan-kepercayaan kita bahwa janjiNya pasti datang.
Mungkin agak berbeda dengan pegawai kantoran, PNS, pejabat birokrasi, yang justru jadwal istirahat siang mereka sudah diatur dari jam 12.00 sampai 13.00. Itu lebih dari cukup untuk shalat dan makan siang kemudian melanjutkan aktifitas kantor mereka, melanjutkan kewajiban mereka yang sebenarnya sudah dijanjikan pasti mendapat upah. tetapi, ada beberapa Tuan yang kadang dengan sengaja memperpanjang waktu istirahat siang mereka yang justru digunakan untuk keperluan lain yang sifatnya individualis.
Semoga segera disadarkan, bahwa di sisi lain di luar sana banyak orang macam Mang Soleh dan Mang Udin meskipun waktu istirahat siang, mereka gunakan untuk shalat dan makan siang meskipun hanya terpakai setengah jam, mereka akan langsung melanjutkan bekerja tanpa perlu tau berapa rupiah yang akan mereka dapatkan.
Yah, semua itu karena janji bahwa pegawai sudah punya patokan upah yang akan mereka dapatkan, tanpa perlu banting tulang macam Mang Soleh dan Mang Udin.
Semoga masih ada karakter tangguh macam mereka yang tawakal, ikhlas, dan sabar.

[Ari, 2013]

Casual, Elegant, Adorable

Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Allah, akhirnya saya memberanikan diri untuk sharing passion saya.
Berangkat dari ketertarikan saya mengaplikasikan gambaran-gambaran baju yang saya buat sendiri kemudian dimintakan pada penjahit untuk dijadikan gaun, akhirnya ada beberapa teman yang kemudian dengan senang hati minta dibuatkan. Ya, meski gambaran saya jika dibandingkan dengan gambaran-gambaran tangan desainer profesional, insya Allah saya akan selalu terus berusaha.

Saya beri judul "Indonesia's Autumn"
bulan-bulan November seperti ini, mungkin di Eropa sedang musim gugur. Kesan yang dibawa autumn itu "hangat". Untuk itu launching perdana kali ini, semoga bisa diterima dengan hangat oleh para pecinta gaun-pakaian muslimah.
[syar'i, elegant, intelligent, wonderful, adorable, multifunction, fashionable, unforgetable pieces, casual for your daily work and event,to look chick, stylish and precious, mixing culture and modern with perfect match, Let's be and stay tuned on Ardahanareswari]

terimakasih.
Jazakumullah.















dominasi gamis, insya Allah resleting selalu di depan. Tujuannya, untuk memudahkan bagi para ibu menyusui. Kemudian selalu di buat saku, tujuannya untuk memudahkan muslimah agar mudah mengantongi barang bawaan secara ringkas misal seperti hape, dan tidak perlu repot membawa tas terlalu banyak.

SMS: 081227335779

Selamat Hari Guru, Pak

Selamat hari Guru Pak :)

masih tentang tanggal 25 November, seharusnya pagi ini engkau berjalan gagah dan membawa senyuman masuk ke dalam kelas.

Jutaan terimakasih yang sebenarnya sudah kupersiapkan dan hendak kuberikan padamu pagi ini, enggan kusampaikan padamu. Semua hanya berujung menjadi sebuah doa yang tak terucap, kelu di ujung lidah, "engkau yang selalu menganggap kami paling tolol, menganggap hasil kerja keras dan pekerjaan kami berakhir tiada guna, kami hanya berharap semoga kelak engkau tersadarkan, entah dengan cara apa. semoga engkau sehat selalu."

Hubungan kita hanya sebatas relasi antara murid dengan guru kan? seharusnya tidak, sehingga aku bisa melakukan pembelaan terhadap semua perlakuanmu. Engkau tidak hanya sekadar guru, namun pembimbing, pendidik, kawan sharing tentang segala kesulitan-kegalauan dalam hidup dan ilmu pengetahuan, kawan yang saling memberi pelajaran hidup, suri tauladan bagi kami. Maka jika engkau benar-benar sadar akan titel yang tidak hanya sekadar 'guru' (bahwa dibelakang 'guru' masih ada semua itu tadi), maka tentu kata 'g*bl*k' tidak akan keluar dari mulutmu untuk kami.

Engkau seperti dewa, yang perkataannya tidak mungkin kami abaikan. Maka bertutur katalah yang baik, maka tentu kami akan senang bertemu denganmu (lagi).

Nice to meet you.
See you again.
Selamat Hari Guru.


Selasa, 26 November 2013.
kami yang akan selalu berdoa untuk segala kebaikanmu.

Pidato Wisudawan Terbaik, Memukau tetapi Sekaligus “Menakutkan”

source:
http://rinaldimunir.wordpress.com/2013/04/07/pidato-wisudawan-terbaik-memukau-tetapi-sekaligus-menakutkan/

Setiap acara wisuda di kampus ITB selalu ada pidato sambutan dari salah seorang wisudawan. Biasanya yang terpilih memberikan pidato sambutan adalah pribadi yang unik, tetapi tidak selalu yang mempunyai IPK terbaik. Sepanjang yang saya pernah ikuti, isi pidatonya kebanyakan tidak terlalu istimewa, paling-paling isinya kenangan memorabilia selama menimba ilmu di kampus ITB, kehidupan mahasiswa selama kuliah, pesan-pesan, dan ucapan terima kasih kepada dosen dan teman-teman civitas academica.
Namun, yang saya tulis dalam posting-an ini bukan pidato wisudawan ITB, tetapi wisudawan di Amerika. Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman surel dari teman di milis dosen yang isinya cuplikan pidato Erica Goldson pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. Isi pidatonya sangat menarik dan menurut saya sangat memukau. Namun, setelah saya membacanya, ada rasa keprihatinan yang muncul (nanti saya jelaskan).Cuplikan pidato ini dikutip dari tulisan di blog berikut: http://pohonbodhi.blogspot.com/2010/09/you-are-either-with-me-or-against-me.html
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Hmmm… setelah membaca pidato wisudawan terbaik tadi, apa kesan anda? Menurut saya pidatonya adalah sebuah ungkapan yang jujur, tetapi menurut saya kejujuran yang “menakutkan”. Menakutkan karena selama sekolah dia hanya mengejar nilai tinggi, tetapi dia meninggalkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam bidang lain, seperti hobi, ketrampilan, soft skill, dan lain-lain. Akibatnya, setelah dia lulus dia merasa gamang, merasa takut terjun ke dunia nyata, yaitu masyarakat. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan di dalam hidup ini.
Saya sering menemukan mahasiswa yang hanya berkutat dengan urusan kuliah semata. Obsesinya adalah memperoleh nilai tinggi untuk semua mata kuliah. Dia tidak tertarik ikut kegiatan kemahasiswaan, baik di himpunan maupun di Unit Kegiatan Mahasiswa. Baginya hanya kuliah, kuliah, dan kuliah. Memang betul dia sangat rajin, selalu mengerjakan PR dan tugas dengan gemilang. Memang akhirnya IPK-nya tinggi, lulus cum-laude pula. Tidak ada yang salah dengan obsesinya mengejar nilai tinggi, sebab semua mahasiswa seharusnya seperti itu, yaitu mengejar nilai terbaik untuk setiap kuliah. Namun, untuk hidup di dunia nyata seorang mahasiswa tidak bisa hanya berbekal nilai kuliah, namun dia juga memerlukan ketrampilan hidup semacam soft skill yang hanya didapatkan dari pengembangan diri dalam bidang non-akademis.
Nah, kalau mahasiswa hanya berat dalam hard skill dan tidak membekali dirinya dengan ketrampilan hidup, bagaimana nanti dia siap menghadapi kehidupan dunia nyata yang memerlukan ketrampilan berkomunikasi, berdiplomasi, hubungan antar personal, dan lain-lain. Menurut saya, ini pulalah yang menjadi kelemahan alumni ITB yang disatu sisi sangat percaya diri dengan keahliannya, namun lemah dalam hubungan antar personal. Itulah makanya saya sering menyemangati dan menyuruh mahasiswa saya ikut kegiatan di Himpunan mahasiswa dan di Unit-Unit Kegiatan, agar mereka tidak menjadi orang yang kaku, namun menjadi orang yang menyenangkan dan disukai oleh lingkungan tempatnya bekerja dan bertempat tinggal. Orang yang terbaik belum tentu menjadi orang tersukses, sukses dalam hidup itu hal yang lain lagi.
Menurut saya, apa yang dirasakan wisudawan terbaik Amerika itu juga merupakan gambaran sistem pendidikan dasar di negara kita. Anak didik hanya ditargetkan mencapai nilai tinggi dalam pelajaran, karena itu sistem kejar nilai tinggi selalu ditekankan oleh guru-guru dan sekolah. Jangan heran lembaga Bimbel tumbuh subur karena murid dan orangtua membutuhkannya agar anak-anak mereka menjadi juara dan terbaik di sekolahnya. Belajar hanya untuk mengejar nilai semata, sementara kreativitas dan soft skill yang penting untuk bekal kehidupan terabaikan. Sistem pendidikan seperti ini membuat anak didik tumbuh menjadi anak “penurut” ketimbang anak kreatif.
Baiklah, pada bagian akhir tulisan ini saya kutipkan teks asli (dalam Bahasa Inggris) Erica Goldson di atas agar kita memahami pidato lengkapnya. Teks asli pidatonya dapat ditemukan di dalam laman web ini: Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech .
Valedictorian Speaks Out Against Schooling in Graduation Speech
by Erica Goldson
Here I stand
There is a story of a young, but earnest Zen student who approached his teacher, and asked the Master, “If I work very hard and diligently, how long will it take for me to find Zen? The Master thought about this, then replied, “Ten years.” The student then said, “But what if I work very, very hard and really apply myself to learn fast – How long then?” Replied the Master, “Well, twenty years.” “But, if I really, really work at it, how long then?” asked the student. “Thirty years,” replied the Master. “But, I do not understand,” said the disappointed student. “At each time that I say I will work harder, you say it will take me longer. Why do you say that?” Replied the Master, “When you have one eye on the goal, you only have one eye on the path.”
This is the dilemma I’ve faced within the American education system. We are so focused on a goal, whether it be passing a test, or graduating as first in the class. However, in this way, we do not really learn. We do whatever it takes to achieve our original objective.
Some of you may be thinking, “Well, if you pass a test, or become valedictorian, didn’t you learn something? Well, yes, you learned something, but not all that you could have. Perhaps, you only learned how to memorize names, places, and dates to later on forget in order to clear your mind for the next test. School is not all that it can be. Right now, it is a place for most people to determine that their goal is to get out as soon as possible.
I am now accomplishing that goal. I am graduating. I should look at this as a positive experience, especially being at the top of my class. However, in retrospect, I cannot say that I am any more intelligent than my peers. I can attest that I am only the best at doing what I am told and working the system. Yet, here I stand, and I am supposed to be proud that I have completed this period of indoctrination. I will leave in the fall to go on to the next phase expected of me, in order to receive a paper document that certifies that I am capable of work. But I contend that I am a human being, a thinker, an adventurer – not a worker. A worker is someone who is trapped within repetition – a slave of the system set up before him. But now, I have successfully shown that I was the best slave. I did what I was told to the extreme. While others sat in class and doodled to later become great artists, I sat in class to take notes and become a great test-taker. While others would come to class without their homework done because they were reading about an interest of theirs, I never missed an assignment. While others were creating music and writing lyrics, I decided to do extra credit, even though I never needed it. So, I wonder, why did I even want this position? Sure, I earned it, but what will come of it? When I leave educational institutionalism, will I be successful or forever lost? I have no clue about what I want to do with my life; I have no interests because I saw every subject of study as work, and I excelled at every subject just for the purpose of excelling, not learning. And quite frankly, now I’m scared.
John Taylor Gatto, a retired school teacher and activist critical of compulsory schooling, asserts, “We could encourage the best qualities of youthfulness – curiosity, adventure, resilience, the capacity for surprising insight simply by being more flexible about time, texts, and tests, by introducing kids into truly competent adults, and by giving each student what autonomy he or she needs in order to take a risk every now and then. But we don’t do that.” Between these cinderblock walls, we are all expected to be the same. We are trained to ace every standardized test, and those who deviate and see light through a different lens are worthless to the scheme of public education, and therefore viewed with contempt.
H. L. Mencken wrote in The American Mercury for April 1924 that the aim of public education is not “to fill the young of the species with knowledge and awaken their intelligence. … Nothing could be further from the truth. The aim … is simply to reduce as many individuals as possible to the same safe level, to breed and train a standardized citizenry, to put down dissent and originality. That is its aim in the United States.”
To illustrate this idea, doesn’t it perturb you to learn about the idea of “critical thinking?” Is there really such a thing as “uncritically thinking?” To think is to process information in order to form an opinion. But if we are not critical when processing this information, are we really thinking? Or are we mindlessly accepting other opinions as truth?
This was happening to me, and if it wasn’t for the rare occurrence of an avant-garde tenth grade English teacher, Donna Bryan, who allowed me to open my mind and ask questions before accepting textbook doctrine, I would have been doomed. I am now enlightened, but my mind still feels disabled. I must retrain myself and constantly remember how insane this ostensibly sane place really is.
And now here I am in a world guided by fear, a world suppressing the uniqueness that lies inside each of us, a world where we can either acquiesce to the inhuman nonsense of corporatism and materialism or insist on change. We are not enlivened by an educational system that clandestinely sets us up for jobs that could be automated, for work that need not be done, for enslavement without fervency for meaningful achievement. We have no choices in life when money is our motivational force. Our motivational force ought to be passion, but this is lost from the moment we step into a system that trains us, rather than inspires us.
We are more than robotic bookshelves, conditioned to blurt out facts we were taught in school. We are all very special, every human on this planet is so special, so aren’t we all deserving of something better, of using our minds for innovation, rather than memorization, for creativity, rather than futile activity, for rumination rather than stagnation? We are not here to get a degree, to then get a job, so we can consume industry-approved placation after placation. There is more, and more still.
The saddest part is that the majority of students don’t have the opportunity to reflect as I did. The majority of students are put through the same brainwashing techniques in order to create a complacent labor force working in the interests of large corporations and secretive government, and worst of all, they are completely unaware of it. I will never be able to turn back these 18 years. I can’t run away to another country with an education system meant to enlighten rather than condition. This part of my life is over, and I want to make sure that no other child will have his or her potential suppressed by powers meant to exploit and control. We are human beings. We are thinkers, dreamers, explorers, artists, writers, engineers. We are anything we want to be – but only if we have an educational system that supports us rather than holds us down. A tree can grow, but only if its roots are given a healthy foundation.
For those of you out there that must continue to sit in desks and yield to the authoritarian ideologies of instructors, do not be disheartened. You still have the opportunity to stand up, ask questions, be critical, and create your own perspective. Demand a setting that will provide you with intellectual capabilities that allow you to expand your mind instead of directing it. Demand that you be interested in class. Demand that the excuse, “You have to learn this for the test” is not good enough for you. Education is an excellent tool, if used properly, but focus more on learning rather than getting good grades.
For those of you that work within the system that I am condemning, I do not mean to insult; I intend to motivate. You have the power to change the incompetencies of this system. I know that you did not become a teacher or administrator to see your students bored. You cannot accept the authority of the governing bodies that tell you what to teach, how to teach it, and that you will be punished if you do not comply. Our potential is at stake.
For those of you that are now leaving this establishment, I say, do not forget what went on in these classrooms. Do not abandon those that come after you. We are the new future and we are not going to let tradition stand. We will break down the walls of corruption to let a garden of knowledge grow throughout America. Once educated properly, we will have the power to do anything, and best of all, we will only use that power for good, for we will be cultivated and wise. We will not accept anything at face value. We will ask questions, and we will demand truth.
So, here I stand. I am not standing here as valedictorian by myself. I was molded by my environment, by all of my peers who are sitting here watching me. I couldn’t have accomplished this without all of you. It was all of you who truly made me the person I am today. It was all of you who were my competition, yet my backbone. In that way, we are all valedictorians.
I am now supposed to say farewell to this institution, those who maintain it, and those who stand with me and behind me, but I hope this farewell is more of a “see you later” when we are all working together to rear a pedagogic movement. But first, let’s go get those pieces of paper that tell us that we’re smart enough to do so!
~~~~~~~~~~
Pidato Erica tersebut juga dimuat di blog America dan mendapat tanggapan luas oleh publik di sana. Silakan baca di sini: http://americaviaerica.blogspot.com/2010/07/coxsackie-athens-valedictorian-speech.html
Kalau ingin melihat video pidato Erica di Youtube, klik ini:

http://www.youtube.com/watch?v=9M4tdMsg3ts&feature=player_embedded#!

Mungkin Suatu Ketika

Dua November Duaributigabelas,

Aku tidak pernah sesedih ini membuka layar komputer kecil. Dulu, aku selalu antusias menghidupkannya, tanpa koneksi internet kuhabiskan waktuku untuk menonton, mendengarkan musik, menulis, dan melakukan semua pekerjaanku bersamanya. Sampai hari itu, sinyal internet semakin sering nyangkut ke dalam komputer kecilku semakin sering pula aku membaca ceritamu yang selalu kamu bagikan pada teman-temanmu melalui sosial mediamu. Tanpa disadari itu menjadi kebiasaan, meskipun aku akan berdalih itu tidak sengaja karena ceritamu terlalu sering mampir di timelineku. Dan suatu ketika kamu memposting sebuah gambar yang kemudian pada gambar itu kamu beri keterangan -suatu hari bersama perempuan yang tepat, di tempat yang tepat- kemudian kamu melampirkan sebuah nama yang tidak asing kubaca.

Ah ya, perasaan manusia memang sulit ditebak.
Ah ya, ini yang kadang kubenci dari sosial media, terlalu banyak fakta yang justru kudapat dari dunia 'ini' bukan fakta yang seharusnya kudengar langsung dari katamu.. Haruskah kupercayai semua yang tertulis, atau aku harus menunggumu bercerita kemudian baru boleh aku percaya?

Ya, kadang memang sendiri itu terlampau menjemukan, dan kadang banyak kerumunan teman di jejaring pertemananpun bisa membuat jemu.

Bagaimana jadinya jika semua akun dalam dunia maya dinonaktifkan dan tidak ada keterangan apapun yang bisa orang lain ketahui tentang kita jika ia mencarinya di dunia maya, ataupun di sosial media?

Mungkin kita akan tau siapa saja yang memang benar-benar peduli pada kita.
Mungkin kita akan tau siapa saja yang memang benar-benar ingin berbicara pada kita, bukan sekadar retorika basa basi.
Mungkin kita akan tau siapa saja yang memang benar-benar ingin bertemu dan bertatap muka dengan kita.
Mungkin kita akan tau siapa saja yang memang benar-benar ingin menanyakan kabar kita.
Mungkin kita akan tau siapa saja yang memang benar-benar tau hari ulang tahun kita, nama ayah kita, nama ibu kita, pendidikan kita, pekerjaan kita, alamat kita, hobby kita, kesenangan kita, bahkan paras kita.
Mungkin kita akan tau siapa saja yang ingin menjalin kedekatan dengan kita secara pribadi baik dengan bercanda ataupun curhat.
Mungkin kita akan tau siapa saja yang memang benar-benar ingin mendoakan agar sekolah kita lancar, agar anak yang baru kita lahirkan tumbuh menjadi anak yang soleh dan solehah, agar kita panjang umur, agar kita sukses selalu, agar rejeki kita lancar.

Mungkin...
Mungkin akan lebih baik jika kita saling menjaga privasi masing-masing.
Itu pilihan.

Sempurna, itu Ada

Di jam-jam segini, jika sinyal wifi masih berkenan hadir di kamar syahdu dengan ukuran dua setengah kali dua setengah meter meski agak malu-malu, aku sering mengintip jejak sosial mediamu, mencari-cari adakah sosokku dalam rintihan kegalauanmu? Adakah sosokku dalam cerita indah dalam karanganmu? Adakah sosokku dalam rencana bahagia masa depanmu? ah, sudahlah jangan galau jangan risau, kamu hanya perlu mengganti lagu pengantar tidurmu dari Hoobastank menjadi Steven and The Coconut treez.

Sambil mengingatmu yang terlalu acuh pada kehadiranku sebagai seorang perempuan polos yang fitrah perasaannya mudah tersanjung dengan ucap pria setipe Vicky Prasetyo, aku mencoba menulis cerita tentangmu dan berjanji akan benar-benar menganggapmu sebagai kawan terbaikku. Pesanku, "Hei jangan mengumbar perhatianmu!" Baiklah kamu anggap itu hal biasa yang kamu lakukan: -perhatian-peduli-bercanda- karena aku adalah temanmu. Aku anggap begitu. Tapi, hei aku perempuan! tidakkah kamu juga melakukannya pada perempuan lain selain aku?

Asap dengan rokokmu yang selalu kubenci, caci makimu-umpatanmu yang kedengarannya justru selalu ingin kucaci sendiri, membuatku yakin bahwa kamu adalah Vicky Prasetyo yang keras kepala yang tidak bisa memahami dirimu sendiri, apalagi memahamiku. Memang ternyata kita adalah teman yang hanya saling membagi cerita suka dan duka, tanpa perlu saling peduli dengan kesukaan dan ketidaksukaan masing-masing dari kita. Itu kita.

Di sini aku memang belajar tentang bahasa, tentang makna, tentang simbol; tapi aku tidak cukup paham untuk menerjemahkan semua kode aneh darimu. Di ponsel jadul sumbangan dari seorang kawan lain yang ada di samping laptopku ini, yang hanya bisa kugunakan menelpon dan membaca pesan singkatmu, ada banyak arsip kenangan yang sebenarnya ingin kusimpan. Sebenarnya.


[dari aku yang pernah menulis surat cinta untukmu]
"maukah kau sering-sering datang ke Jogja; supaya aku tahu bahwa kamu benar-benar sudah membaca pesanku."

tag: dwitasari dengan pengeditan

Surat Cinta

Cinta tak harus terucap lewat bibir, namun kadang tertancap di dalam hati, menjadi kata-kata yang tertulis dalam sebuah surat yang sering tak pernah tersampaikan, apalagi terbaca.

Penyesalan selalu jadi ujung sebuah cerita, ketika cinta yang tulus dan sungguh baru terbaca di kemudian hari,... ya setelah semuanya tiada.

...Tenang, melalui surat meski (bisa jadi) akan terlambat, namun yang pasti - akan terkirim...

Hei, sudahkah kalian menulis surat kemudian mengirimkannya, atau boleh lah kalian menyimpannya hanya sebagai tanda bahwa cinta atau cerita cinta itu pernah ada untuk seseorang?

Ayoooooook nulis surat :)


-I Love you so much, mumumumumuuuuua-
dari saya yang pernah mengirim surat cinta :D

[sebuah bingkisan ulang tahun yang ke23, novel Surat Cinta]

tag: mamah, bapak, mas angga, dek eno, dek Lia, mbak eka, evi, debi, dinka, tikak, septi, mbak ami, mbak resti

Bukan Tentang Soal Matematika atau Bilangan Usia

Suatu siang, seorang gadis muda berkerudung merah berusia 22 tahun sedang dalam misi menjalankan tugas ibunya. Sang ibu menyuruhnya membeli 4 paket makanan khas padang dengan lauk rendang. Lalu sesampainya ia di rumah makan padang, rendang yang masih tersedia hanya 3 potong. Sumpah, ini bukan soal matematika. Kemudian, gadis itu menggantinya dengan lauk yang lain yaitu ayam.
"nggih mpun mbak, setunggale ayam mawon."
ketika mbak Padang sedang sibuk melayani pesanan gadis itu, datanglah seorang bapak Eko karena mirip dengan Eko Patrio. Bapak Eko berdiri di samping gadis itu sambil menginterpretasi situasi yang sedang berlangsung, "Pesen kathah ta mbak?" gadis itu menoleh kemudian tersenyum, "mboten kok pak namung sekawan." gadis itu agak polos, tidak menanggapi pertanyaan bapak itu yang lebih berarti,"rendange telas mbak?"
mbak Padang buru-buru menimpali,"rendang taksih dimasak Pak,nengga radi dangu mboten napa2?" Bapak Eko itu tersenyum dan mengangguk.
Bapak itu melemparkan tanya pada gadis itu,"kuliah ta mbak?"
"nggih Pak." jawab singkat gadis itu.
"ten UMP?"
"Sanes, wonten xxx"
"jurusan?"
"Ling******"
"napa niku mbak?"
"ilmu bla bla bla.."
"udah mau wisuda ya mbak?" bapak itu melakukan code switching.
Gadis itu tersenyum tanpa jawaban.
"darimana mbak?"
"Dopl*ng." jawab gadis itu tanpa balik bertanya.
"Perumahan?"
"sanes Pak, nggen Pak Kyai K*****."
"mbak nya anaknya Pak Kyai K*****?"
"bukan pak, cm rumahnya daerah skitar situ."
"dulunya SMA 1?"
"Bukan Pak, saya SMA x."
gadis itu diberondong pertanyaan yang menurutnya interogatif. Ah, biarkan toh gadis itu sangat senang bertemu dengan orang2 yg baru dikenal.
"keliatannya mbaknya ini sudah berkeluarga ya?"
Plaaak,gadis itu mendadak menatap bapak itu. Gadis itu kemudian tertawa kecil meskipun rasanya seperti baru ditampar.
"haha belum pak."
bapak Eko ikut tertawa,begitu juga mbak Padang yang tau betul keadaan gadis itu yang sering membeli makanan di tempat itu.
"berarti mbake ki dewasa mbak." mbak Padang menimpali.
"haha, dewasa karo tuwa beda tipis mbak." gadis itu melemparkan guyonan.
Bapak Eko dan mbak Padang tertawa.
"nggak mbak, wajahnya keibuan gitu." bapak itu menambahi.. *gadis berkerudung merah sudah terlanjur shock..hha
Yaa,kesimpulanya adalah code switching yang dipakai bapak Eko bertujuan untuk mencairkan suasana dan mencoba lebih mendekati agar tampak akrab kepada mitra tutur sebelum ia menyampaikan pernyataan pokoknya.
*modus..

Mak tolongin mak, tolongin gadis itu.
>ambil helm,tutupan helm.

Dua Desember Duaributigabelas

...I'm not a perfect personThere's many thingsI wish I didn't doBut I continue learningI never meant to do those things to youAnd so I have to say before I goThat I just want you to know...That's why I need you to hear.. 
I've found a reason for meA reason for all that I doAnd the reason is you...
*penggalan
[Hoobastank - The Reason]

Ketika hati menjadi penat dengan rahasia,
dan mata mulai terbakar karena air mata,
dan rusuk meledak dengan tumbuhnya batas hati,
tidak seorang pun dapat menemukan ekspresi untuk labirin
semacam itu kecuali dengan gelombang pelepasan

[kahlil gibran]


Banyak orang mempertanyakan apa sebab ia ada, banyak hati bertanya pilu mengapa cintanya tak kunjung tiba. Tidak sedikit yang tak mengerti jika suatu hal terjadi karena sebuah alasan. Tidak juga aku, hanya bisa bertanya kesana kemari, bertanya pada angin yang tak kunjung memberi jawaban, pada hujan yang justru buru-buru reda, bertanya mengapa ia belum juga tiba.

Hai Cinta, kamu ada dimana?
penanggalan di kalender 27 Juni 2013 sudah terlalu jauh meninggalkanku, tidakkah kamu berjanji untuk datang dan memberiku jawabanmu. Atau aku hanya berimajinasi tentang tanggal itu? Balaslah pesanku, apapun, aku terima.

Hai duapuluhtujuh Juni duaributigabelas, sebentar lagi dua Desember duaributigabelas, aku hanya ingin memastikan kamu membaca pesanku, disitu tertulis bahwa "aku masih menunggu".

Bukankah kamu berjanji untuk datang tidak terlambat, datang tidak lewat dari dua Desember duaributigabelas? Apa yang akan kamu lakukan setelah dua Desember duaributigabelas? Jangan terlalu lama, karena aku mulai bosan, mulai melupakan tanggal duapuluhtujuh Juni duaributigabelas.