SEBUAH PERMINTAAN MAAF DARIKU
(sebuah catatan yang pernah kuhapus....maaf)
Ada seorang teman bertanya padaku, yang ketika itu ia bimbang menentukan kemana ia harus melangkah, dan jalan mana yang harus ia ambil, untuk menentukan 'setengah nasibnya'.
Aku menulis 'setengah nasibnya', karena bisa jadi jika keputusan yang diambil itu salah, maka akan sangat berpengaruh pada masa depannya. Karena akupun sangat sadar, bahwa kesempatan emas itu tak akan datang dua kali. Di satu sisi, ia memiliki kesempatan yang belum tentu orang lain bisa mendapatkannya, yang sudah ada di depan mata, yaitu kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri bergengsi di kota Bandung, akan tetapi menurutnya bidang yang ia ambil bukanlah bidang yang ia kuasai (aku sedikit sangsi, karena menurutku ia termasuk orang yang serba bisa, kalaupun itu bukan bidangnya setidaknya ia pernah mempelajarinya, dan karena belajar tentunya dari hal yang tidak terlalu kita pahami). Di satu sisi, ia juga memiliki kesempatan yang sudah ada di depan mata untuk melanjutkan sekolah di salah satu Perguruan Tinggi swasta yang cukup terpandang di kota Yogyakarta, namun lain halnya dengan yang pertama, ia lebih menguasai bidang yang ia ambil pada PTS ini. Yang membedakan antara kedua halnya adalah biaya ketika ia sudah menjadi seorang mahasiswa.
Lalu aku berusaha menjawabnya dengan sebijaksana mungkin, dan dengan hati-hati agar tidak menyakiti hatinya. 'Cobalah untuk mengikuti kata hatimu, mana yang lebih condong dengan kata hatimu... Cobalah untuk bertanya pada bapak atau ibu, karena tentunya mereka lebih bisa mengerti daripada aku..' Lalu ia bilang, ia akan shalat istikharah untuk meyakinkan keputusannya.
Beberapa hari kemudian, ia memberitahukan keputusan yang ia ambil. Ia lebih memilih yang kedua. Semoga itu yang terbaik baginya.
Waktu terus berjalan, hingga pada akhirnya, ia merasa putus asa (mungkin, akan lebih tepat jika kutulis 'merasa lelah'). Ia bosan dengan cara pengajarannya yang membuatnya tidak semakin paham akan apa yang ia pelajari, ditambah dengan isu-isu yang beredar bahwa lulusan dari jurusan itu, dalam persaingan kerjanya tidak akan dapat dipercaya. Menurutnya mendapatkan nilai A, di sana sangat mudah, bahkan tanpa belajar sekalipun.
Aku tidak bisa berkata apapun. Lidahku tercekat, kata-kata yang sudah terangkai dalam pikiranku, tak dapat keluar satupun.
Pada akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti dan tidak melanjutkan belajar di tempat itu.
Ia pun bertanya padaku lagi, kemana ia harus melangkah, tanpa harus menghentikan kecintaannya pada bidang itu.
Di saat seperti inilah aku sangat merasa bersalah...
Sungguh sangat merasa bersalah... Karena dalam pikiranku, ucapan yang terlontar dari bibirku saat itu, sedikit banyak mempengaruhi keputusan yang ia ambil.
Aku merasa sangat bersalah, karena satu tahun kedepan ia lewati tanpa kegiatan yang begitu berarti.
Aku merasa sangat bersalah....
Aku tidak berhak menentukan masa depannya.
Aku hanya bisa membantu dengan mengumpulkan brosur-brosur Perguruan Tinggi yang sesuai bidangnya. Setelah itu, itu adalah keputusannya.
Untuk siapapun yang merasa bahwa kisah hidupnya ini kutulis,..... MAAF...
Semoga, Ia Yang Maha Pemberi Kemudahan, memudahkan segala yang dilakukan dan memudahkan jalanmu dalam mencapai semua angan dan citamu.
tetap SEMANGAT,... Karna ketahuilah,…hanya dengan mendengar kabar bahwa kau berhasil mewujudkan impianmu, dan bangga atas apa yang sudah kau ambil dan telah berhasil melawati semuanya itu, maka rasa bersalahku akan ku lupa…
Bolehkah aku meminta,
Memintalah padaku sebuah nasihat, maka akan ku berikan nasihat. Dan jika kau tidak ingin mendengarku menasihatimu, aku akan tidak akan berbicara apapun. Ingatkan aku, jika aku terlalu banyak bicara.
MAAF >-<
Untuk siapapun yang merasa bahwa ceritanya ini kutulis,….. ‘Ari minta maaf’…. Sungguh-sungguh minta maaf…
0 komentar:
Posting Komentar